Part 11: when love calls she to starting change

482 66 61
                                    

Fira melihat pantulan wajahnya di cermin. Mata bengkak, rambut awut-awutan, dan wajah kelewat pucat adalah hal yang pertama kali dilihatnya. Benar-benar mirip karakter hantu film best seller. Mungkin, dia memang harus melamar kerja di perfilman. Sudah dapat uang, tapi yang dia lakukan cuma berdiri menghadap kamera dengan wajah menyeramkan. Fira pasti bisa. Dia akan kaya dengan cepat.

Air yang bersentuhan langsung dengan kulitnya terasa dingin, tapi berhasil membuatnya berpikiran lebih jernih dan tenang. Kalau ditanya apa Fira masih marah, jawabannya masih. Orang seperti mereka sering Fira temui. Memuja di depan, tapi merendahkan di belakang. Fira muak mendengarnya.

Namun, marah juga tidak ada gunanya sekarang. Lagipula, Fira yakin mereka sedang ketakutan. Ancaman seperti itu selalu berhasil. Dengan begini, mereka tidak akan berani melakukannya lagi; mengatai Fara sembarangan.

Fira juga tidak tidak takut akan dilaporkan. Dia, kan, tidak melukai kedua gadis itu secara fisik. Mereka pasti sering melukai orang lain secara verbal, dan Fira pun melakukan hal yang sama pada mereka. Untuk gadis cengeng, hal seperti itu saja cukup.

Siswa di sekolahnya juga tahu persis kelakuan Fira. Kalau kedua gadis itu bersaksi melihat sosok 'setan'-nya yang terlihat bergairah (untuk menguliti mereka), tidak akan ada yang percaya. Yang ada, mereka hanya dikatai gadis yang suka cari sensai. Yah, sepertinya embel-embel yang memang cocok untuknya, bukan?

Fira tersenyum. Sekarang, kedua gadis itu akan hidup dalam ketakutan. Setiap kali menggibah, mereka akan teringat wajah Fira dan berhenti melakukannya. Ah, Fira memang jenius kalau masalah begini.

Rasa sakit di perutnya sudah berkurang. Sekarang ia sudah bisa keluar. Fira berjalan gontai. Sekolahnya ini cukup besar dengan banyak gedung berlantai tiga. Menaikinya setiap hari adalah sebuah petaka bagi Fira. Hampir setiap hari--diawal kelas sepuluh--gadis itu mengeluh tentang betapa melelahkannya perjalanan lintas kelas dan perpustakaan.

Namun, sekarang Fira sadar bahwa mengeluh pun terlalu melelahkan. Hingga akhirnya dia pasrah sambil berharap suatu hari sekolahnya memasang lift. Atau, paling tidak seorang pangeran berkuda putih dengan gagah berani mau menggendongnya selama perjalan ke gedung, kelas, dan taksi--lalu Fira, bisa hidup bahagia sentosa selama di sekolah.

Ah, andai saja.

Namun, realita tebtu berbeda. Tidak ada oangeran berkuda putih. Dia hanya bisa mensyukuri letak gedung perpustakaan yang berdampingan dengan gedung kelas sebelas dan dua belas.

Fira melewati sebuah rombongan yang sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu tentang acara sekolah. Fira memberi hormat kepada mereka. Hari ini pun, banyak siswa yang bersemangat. Fira tidak membencinya. Meski prinsip mereka berbeda, ia sendiri tidak menganggap apa yang mereka lakukan itu salah. Dia hanya tidak suka kelelahan.

Fira sampai pada jalan menuju gedung perpustakaan. Lingkungan sekolah sudah agak sepi, kecuali keberadaan anak-anak ekskul yang sedang berjuang keras untuk penampilan acara dan juga stan bazar. Suasana yang selalu disukai Fira. Tenang dan nyaman, berhasil membuatnya berniat kembali mengawang di alam mimpi lagi.

Tangan Fira sudah sampai di kenop pintu. Dia hampir saja memasuki peroustakaan kalau saja telinganya tidak mendengar suara seseorang. Fira berhenti. Menajamkan pendengaran.

“Iya, saya mengerti.”

Suara itu terdengar lebih jelas dan familier. Itu suara ... Afandi. Fira yakin itu suara Afandi.

Sebenarnya, Fira bisa saja langsung memasuki perpustakaan tanpa memedulikan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu. Namun, entah mengapa kakinya malah menyeret Fira untuk lebih dekat dengan sumber suara. Ke samping gedung perpustakaan di sebelah kanan.

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now