Part 16: when love calls she to get a cheer up from him

400 66 32
                                    

Gadis itu ternganga lalu dengan cepat menjauhkan tangan dari matanya. Fira lalu menoleh sedikit ke arah Fara. “Kamu bilang Afandi, tadi?”

Meski di dalam kegelapan, Fira masih bisa melihat kepala Fara mengangguk samar. "Dia memaksa ikut tadi, katanya ada yang ingin dibicarakan dengan kakak."

Fira mengangkat tangan untuk menetralkan rasa pusing yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Mengapa, di saat ia sedang sangat sedih begini, orang merepotkan nan pemaksa malah datang? Sebenarnya, apa mau Afandi datang ke sini?

***

"Katanya, ada yang harus dia berikan. Padahal aku gak mau membawanya ke sini, tapi wajahnya seram sekali saat aku menolak tadi. Cih, apa memang seharusnya aku tidak membawanya ke sini, ya?"

Tentu tidak.

Untuk beberap saat, Fira sendiri tidak yakin bagaimana ekspresinya. Kepalanya masih pusing, dadanya masih sesak, dia dalam keadaan yang membuatnya tidak ingin bertemu siapa pun saat ini. Kendati sepertinya Fira tahu apa yang ingin Afandi lakukan, rasanya gadis itu tetap tidak ingin keluar hanya demi lembaran-lembaran soal itu.

Iya, Fira hampir yakin seratus persen. Kemungkinan terbesar Afandi ke sini adalah untuk menyerahkan soal latihan dan menyuruhnya mengerjakan itu sekarang juga. Padahal, saat ini otak dan hatinya sedang tidak sinkron. Fira hanya ingin tidur, bukannya melihat wajah datar dengan perintah absolut tanpa senyum itu di hari buruk seperti ini.

Namun, rasanya Fira juga yakin laki-laki itu tidak akan pulang jika Fira tidak mendatanginya. Afandi memang semenyebalkan dan sekeras kepala itu. Fira membuang napas sembari mengurut kepalanya yang berdenyut semakin sakit. Sedikit demi sedikit ia mengubah posisi menjadi duduk.

Dalam ruangan temaram ini, Fira bisa merasakan mata Fara mengawasinya dengan raut bingung dan khawatir. Perlu waktu seoian detik lagi untuk dirinya mau beranjak dari kasur empuk itu sembari membuang napas sekali lagi. Fira menoleh ke arah Fara, "Sudah, kamu ganti baju dan mandi sana. Istirahat. Biar aku yang mengurus tamu tak diundang itu."

Setelah mengatakannya, Fira keluar dari kamar dengan tiga lipatan di dahi. Hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang untuknya.

Fira keluar kamar dengan langkah diseret. Di pertengahan tangga menuju ke bawah, ia melihat Afandi masih dengan baju seragamanya sedang melakukan sesuatu dengan ponsel di sofa ruang tamu dan ikut menoleh saat merasakan tatapan yang ia berikan. Fira ikut duduk di sofa yang menghadap langsung dengan Afandi lalu menaikkan alis tidak suka. "Mau menyerahkan kertas soal, kan? Kenapa juga harus sampai ke sini?"

Afandi menoleh lalu menekuk wajahnya semakin dalam. Membalas tatapan tidak suka yang Fira layang dengan wajah dan ucapan ketus. "Siapa suruh memblokir nomorku? Aku jadi tidak bisa mengirimkan soalnya lewat pesan."

Fira menganga sebentar. Otaknya baru mulai bereaksi setelah beberapa detik setelah mengingat kejadian beberapa hari lalau, saat ia memblokir nomor Afandi tanpa belas kasih. Salah siapa juga sering mengirimkan pesan menyebalkan? Fira ingin membalas Afandi dengan pertanyaan itu. Namun sayangnya, Fira tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan laki-laki yang keras kepala ini.

Karena itu,Fira hanya memegang kepalanya yang kembali terasa sakit dengan mata yang sedikit terpejam. Suaranya terdengar lirih, berusaha tetap biasa meski kesakitan, "Ya sudah, mana kertasnya?"

Afandi menyerahkan kertas itu lalu memberikan tatapan penuh selidik. Entah karena balasan Fira yang begitu ketus, atau karena penampilan kacaunya. Well, Fira tidak berkaca sebelum menuruni tangga ke bawah, jadi ia tidak dapat menjamin penampilannya sekarang ini cukup sopan menerima tamu atau tidak. Toh, siapa peduli? Laki-laki itu hanya akan menyerahkan kertas lalu urusan mereka akan berakhir.

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now