Bitter Love

7K 722 100
                                    

"Karakter, organisasi, tempat, perusahaan, pekerjaan dan kejadian dalam tulisan ini hanya fiktif."
___________________________________

Dengan jantung yang berdegup kencang. Rimbi mulai memasuki ruang psikiter. Tangannya terus berkeringat, dan matanya masih mencari-cari sosok dokter pemilik ruangan itu. Dan saat bola matanya bergerak ke kiri, dia melihat seorang lelaki yang amat tampan berdiri di samping meja kerjanya, sambil menyesap sesuatu dari cangkir berwarna putih yang ada di genggaman tangannya.

Saat itu juga, Rimbi berharap kalau dirinya bisa berubah menjadi cangkir itu.

"Silahkan duduk." kata sang Dokter tampan sembari mengusap bibirnya yang berwarna kemerahan dengan selembar tisu yang baru saja dia tarik dari kotaknya.

Kali ini, Rimbi berharap kalau dia bisa menjadi selembar tisu itu. Tapi segera sadar kalau keinginan adalah sebuah kesalahan, saat tisu itu diremas dan dilemparkan dengan semena-mena ke dalam tempat sampah.

Dokter tampan itu tersenyum, lalu duduk di sebuah sofa, dan meminta Rimbi mengikuti apa yang sudah dia lakukan. Rimbi yang masih gugup, berjalan mendekat dan bermaksud duduk di samping Bima. Lalu dengan satu tangannya, Bima menutup jalan untuk Rimbi. Tepat sebelum Rimbi menaruh pantatnya di samping Bima.

"Silahkan duduk disana." ucap Bima dengan menunjuk sofa yang ada di seberang sofa tempat Bima.

Rimbi berbalik lalu berteriak tanpa suara. Mampus! Mampus! Goblok!! Sepanjang hidupnya selama dua puluh tujuh tahun, baru kali ini Rimbi benar-benar merasa malu setengah mati. Hanya butuh tiga langkah, Rimbi sudah duduk di sofa yang ditunjuk oleh Bima.

Wajah Rimbi terasa panas, dia juga menggerakkan bola mata ke berbagai arah, merasa sangat gugup bertemu dengan seseorang yang sudah menjadi pujaan hati dan memiliki hatinya selama hampir sebelas tahun lamanya. Meskipun Bima sama sekali tidak mengetahui itu.

"Kamu gugup ya?" tanya Bima dengan wajah datar, dan tangan yang memainkan sebuah bulpoin.

Rimbi makin kebingungan. Bagaimana dia tidak gugup? Melihat Bima dengan seragam putih abu-abu saja sudah membuatnya menjadikan Bima sebagai cinta pertamanya. Lalu bagaimana dengan Bima yang memakai celana kain berwarna hitam, kemeja berwarna merah, dan  jas putih khas seorang dokter yang terlihat sangat pas di tubuhnya.

Dan lagi, rambut Bima yang dulunya berwarna hitam, sekarang berubah kecokelatan dan sisir rapi, memperlihatkan keningnya yang indah. Dan sebuah kacamata minus dengan frame berbentuk bulat, membuat Bima terlihat ratusan kali lipat lebih tampan.

Rimbi khawatir kalau dia akan mimisan setelah ini. Rimbi memperbesar pupil matanya, lalu mengabadikan berbagai pose ketampanan Bima dari tempatnya duduk. Rimbi pasti akan menghitung banyak Bima kalau dia tidak bisa tidur malam ini.

"Halo? Baru pertama kali datang ke psikiter ya?" tanya Bima lagi setelah melihat kekosongan pada wajah Rimbi.

Rimbi terkesiap, lalu mengangguk cepat. Pertanyaan Bima membuatnya kebingungan, kebingungan dan kebingungan. Dan melihat sikap Rimbi yang sedikit aneh. Membuat Bima menaikkan satu alisnya. Dia khawatir jika wanita ini datang ke tempatnya hanya untuk melihat wajah tampannya. Kalau memang iya, siap-siap saja namanya akan masuk dalam daftar hitam penggemar-dokter-Bima.

"Jadi... Siapa nama kamu?"

Rimbi masih menatap wajah Bima dengan lekat. Jangan pernah menyalahkan Rimbi. Dia hanya seorang wanita yang terlalu bahagia bertemu kembali dengan pujaan hatinya.

"Halo? Kamu baik-baik saja?" tanya Bima dengan melambaikan tangan di depan wajah Rimbi.

Dan setelahnya Rimbi sadar. Ia mengusap keningnya yang berkeringat. Lagi-lagi Bima menaikkan satu alisnya. Sepertinya dugaan Bima benar. Wanita ini termasuk penggemar akutnya.

When I See My First Love (again) Onde histórias criam vida. Descubra agora