Sekotak Cokelat

3.6K 481 80
                                    

Di sebuah Coffee Shop yang jauh dari kata ramai. Rimbi duduk dengan menundukkan kepala, masih tidak berani melihat wajah Ryan yang terus tersenyum sejak ia melewati pintu masuk tadi.

"Dewi, Ngobrol dong." kata Ryan sebelum menyesap americano di cangkirnya.

Mendengar itu, Rimbi memainkan jemarinya di cangkir cocholatte yang ada di depannya dengan gugup. Rimbi pernah merasakan patah hati. Dan rasanya sangat sakit. Karena itu ia tidak mau mematahkan hati siapapun. Apalagi hati seorang Jeeryan.

"Maaf Mas. Aku nggak pernah bermaksud bohong ke Mas Jee." kata Rimbi dengan suara pelan yang di penuhi rasa bersalah.

Ryan tertawa kecil, lalu mengetukkan jemarinya di meja. "Lihat kesini, Dewi."

Rimbi mengangkat wajahnya perlahan, lalu menatap wajah Ryan dengan hati-hati. "Kamu ngapain minta maaf?" kata Ryan dengan senyuman manisnya.

Rimbi menggeleng kecil, "Aku takut Mas Jee sakit hati."

Ryan tersenyum lagi, "Aku bukan siapa-siapa kamu."

Rimbi menarik napas panjang. Hati Rimbi diremas dengan kuat. Dadanya terasa sesak. Dia juga merasakan sakit di kepala dan seluruh tubuhnya. Rimbi bahkan tanpa sadar menengadahkan kepalanya berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh.

"Kita bukan siapa-siapa, Dewi. Kamu nggak perlu minta maaf." kata Ryan lagi.

Rimbi menghela napas panjang berusaha menghilangkan rasa sakit dan sesak dalam dadanya. Kenapa sekarang ini malah Rimbi yang merasa sakit hati? Kenapa Rimbi yang merasa akan ditinggalkan oleh Ryan? Apakah memang begini perasaan rasa bersalah itu? Kenapa Rimbi jadi ingin menangis.

"Kalian berdua kelihatan serasi." ucap Ryan dengan senyuman lembut yang mampu menghancurkan hati Rimbi.

Terlambat sudah untuk menahan. Air mata Rimbi sudah menetes. Dia sudah bertemu dengan banyak pria. Beberapa kali dia juga di campakan. Tapi kenapa rasanya sesakit ini? Apakah karena Ryan terlalu baik.

"Hei, kamu kenapa nangis?" ucap Ryan dengan mengusap punggung tangan Rimbi dengan ujung jarinya.

Rimbi menggelengkan kepalanya pelan, "Nggak tahu."

Ryan tersenyum tipis, "Jangan nangis, Dewi. Nanti dikira orang lain, aku yang ninggalin kamu."

Bukannya berhenti, Rimbi malah terisak dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya. Ryan tersenyum tipis, lalu mengambil kantong kertas yang ada di sampingnya.

"Ini, buat kamu. Jangan nangis lagi."

Rimbi mengangkat wajahnya, dan melihat kantong kertas yang ada di depannya.

"Ini apa?"

"Lihat aja." sembari mengangkat cangkirnya lagi.

Rimbi menjulurkan tangannya mengambil sesuatu dari dalam kantong kertas itu. Dan Rimbi membelakak tidak percaya setelah melihat tangannya memegang sebuah kotak bertuliskan Amedei Prendimé. Yang merupakan cokelat premium dengan harga 90 dolar.

"Mas Jee tahu darimana kalau aku suka cokelat?"

Ryan menaruh cangkirnya, "Bukannya kamu pernah bilang ya, kalau kamu suka makan cokelat kalau lagi sedih?"

Rimbi menunjuk dirinya sendiri, "Aku bilang kayak gitu? Kapan?"

"Iya. Kamu lupa? Waktu kamu bilang kalau kamu lebih suka film romantis yang endingnya tragis."

Rimbi mengangguk mengerti. Ia baru ingat, rupanya waktu itu Rimbi juga mengatakan soal cokelat yang selalu berhasil memperbaiki moodnya pada Ryan.

"Jadi dia temen SMA-nya?"

When I See My First Love (again) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu