Masih Bisa Patah

3.8K 556 61
                                    

Di dalam ruangan berukuran 3x4 dengan dinding berwarna putih bersih dihiasi beberapa bingkai foto dan lemari-lemari ber-kode. Seorang wanita cantik berwajah tirus dengan rambut berwarna cokelat kemerahan yang diikat rapi dan kacamata minus di hidungnya. Sedang menatap lekat layar iMac di depannya.

Hampir enam bulan berlalu sejak Rimbi menerima panggilan telepon darurat dari Agista. Dan juga mengetahui kenyataan mengejutkan sekaligus menyedihkan tentang cinta pertamanya. Rimbi secara mengejutkan mendapat perintah untuk memperbaiki sistem keuangan di salah satu hotel yang masih berada di bawah naungan Ararya Holding Company.

Menurut Bu Dara, Bali adalah tempat yang sangat tepat untuk melarikan diri dan mengobati hati siapapun. Dan Rimbi berharap kalau dirinya termasuk dalam siapapun itu.

Drrttt... Drrttt... Drrttt...

Rimbi berdecak kecil, karena suara getaran itu berhasil memecah belah konsentrasinya. Ia seharusnya mengatur ponselnya dalam mode hening. Supaya siapapun tidak bisa mengganggu Rimbi saat ia sedang bermesraan dengan angka-angka dalam layar monitornya.

Lalu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya. Rimbi menekan tombol kunci, untuk mematikan getaran ponselnya, tanpa berniat melihat dulu siapa yang meneleponnya di saat ia sedang sibuk.

Dengan memicingkan mata, Rimbi kembali menjalankan jemarinya di keyboard. Karena ia tidak mau mengambil resiko salah menekan angka dan membuat pekerjaannya berantakan.

Drrttt... Drrttt... Drrttt...

"Shhhhh!!" desis Rimbi dengan memukul meja kerjanya merasa sangat kesal karena ponselnya kembali bergetar.

Rimbi menatap monitornya lagi, mengingat dimana pekerjaannya berakhir sebelum ia mengangkat panggilan telepon itu.

"Halo?" sapa Rimbi dengan menghempaskan punggungnya di kursi kerjanya.

"Lo masih kerja?"

"Iya." Rimbi menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, meregangkan otot-otot lehernya yang terasa kaku. "Kenapa?"

"Lo gila?! Ini udah jam sembilan lewat. Lo mau mati?" teriak sahabat Rimbi merasa frustasi dengan Rimbi yang menyiksa dirinya sendiri.

Rimbi terkekeh, "Nggak mati juga kali Put."

"Lo mau bunuh diri Mbi? Lo gila? Dari jam delapan pagi sampai jam sembilan malem lo masih kerja? Lo gila?!" protes Putri masih dengan berteriak.

Rimbi tertawa lagi, "Bentar lagi gue pulang."

"Bentar lagi itu jam berapa?"

"Iya. Iya gue pulang sekarang."

-tut-

Rimbi menatap layar ponselnya, dan tertawa karena Putri sudah memutuskan panggilan teleponnya. Rimbi tahu, kalau itu bukanlah sebuah akhir. Karena sebentar lagi, ponselnya akan bergetar kembali karena Putri lebih memilih melakukan panggilan video agar Rimbi tidak berbohong.

Drrttt... Drrttt...

Rimbi tersenyum manis. Benar dugaannya. Ia lalu menggeser ikon terima dengan ibu jarinya.

"Posesif." kata Rimbi setelah melihat Putri yang menatapnya tajam.

"Bodo! Lo emang perlu di posesifin. Karena lo adalah tipe-tipe manusia yang nggak sadar kalau lagi nyiksa diri sendiri."

Mendengar itu Rimbi tetawa pelan, "Lo berlebihan deh Put."

"Jangan banyak omong! Ngeles aja lo."

Rimbi menggelengkan kepalanya, "Iya iya. Gue save sebentar ya." kata Rimbi sebelum dia meletakkan ponselnya di atas meja, menghadap dirinya yang sedang menatap monitornya lagi.

When I See My First Love (again) Where stories live. Discover now