Ombak Dan Kelapa Muda

3.7K 514 101
                                    

Setelah turun dari mobil Hotel. Rimbi kembali tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan dan bahkan lelucon Bima yang tidak berhenti sejak mereka di pesawat. Rimbi masih tidak menyangka jika Bima yang selama ini adalah seseorang yang terlihat dingin dan pendiam. Bisa menjadi seorang yang amat berisik.

"Kamu ngetawain apa sih sampai ngakak begitu?" kata Bima sembari menarik koper milik Rimbi, dan juga koper miliknya memasuki lobby Ruby Hotel.

"Ya habis cita-cita kamu aneh banget."

"Apanya yang aneh? Masa salah punya cita-cita pengen punya lima anak?"

"Ya kamu pikir, istri kamu itu kucing? Sekali hamil langsung lima?"

Bima tersenyum penuh arti, "Nggak harus sekalian lima. Dicicil satu-satu kan bisa. Ya nggak?"

Rimbi tertawa lagi, "Nggak ah. Aku nggak setuju."

"Loh, berati kamu mau dong?"

"Mau apa?"

"Jadi ibu yang melahirkan anak-anakku." kata Bima dengan memainkan kedua alisnya.

Rimbi diam sejenak mengamati ekspresi Bima yang konyol, lalu kembali tertawa sembari menggelengkan-gelengkan kepalanya. Rimbi masih tidak percaya jika Bima adalah seorang laki-laki yang seperti ini.

"Jangan ngaco ah!"

"Aku serius."

"Halah!" Rimbi mengibaskan tangannya, lalu meninggalkan Bima lebih dulu menuju konter Front Office.

Tangan Rimbi mulai berkeringat lagi. Jantungnya berdebar kencang. Tubuhnya memang bereaksi terlalu berlebihan. Dan memangnya siapa yang tidak akan berakhir seperti Rimbi jika berhadapan dengan sang Cinta Pertama yang akhirnya membalas cintanya. Apalagi dia seorang Bima.

"Atas nama Bima Cendekia Dharma." kata Rimbi setelah berbincang sejenak dengan staff Front Office.

"Dua Ruby suite room, di nomor kamar 9014 dan 9015 ya Ibu?"

Rimbi membelalak lebar setelah mendengar kata suite, lalu menatap Bima yang sudah berdiri di sampingnya.

"Perfect." singkat Bima dengan senyuman manis sembari memberikan sebuah kartu untuk menyelesaikan pembayaran.

"Seriously? Suite room?"

Bima mengangguk, "Aku nggak bisa tidur di deluxe."

Rimbi berdecak kecil, lalu tertawa melihat ekspresi sombong di wajah Bima.

"9015 ganti nama saya aja Mbak." ucap Rimbi sembari menyerahkan kartu identitasnya pada staf cantik yang terus tersenyum manis pada Bima itu.

"Loh, jangan-jangan! Apa-apaan sih kamu?!" Bima merebut kartu identitas milik Rimbi dari tangan resepsionis itu.

"Terus? Kamu semua yang bayarin? Kamu pikir aku nggak punya duit?" ucap Rimbi dengan seringai tipis.

"Ya ampun Mbi, jangan gitulah. Kan aku yang ngajak kamu liburan. Jadi biar aku yang bayar ya?"

Resepsionis cantik itu pun mulai kebingungan, lalu melihat Rimbi dan Bima secara bergantian saat dua orang yang sepertinya bukan pasangan itu mulai berdebat di depannya.

"Aku pulang ya?" ancam Rimbi.

Bima mendesah pelan, "Kok jadi pulang sih."

"Yaudah, biarin aku bayar sendiri. Setuju?"

Bima menghela napas panjang, "Yaudahlah, terserah kamu." kata Bima sembari menyerahkan kartu identitas milik Rimbi pada resepsionis.

Rimbi tersenyum senang. Sebenarnya dia punya kartu karyawan Ararya Holding Company yang bisa digunakan untuk mendapat diskon jika mereka menginap di Hotel yang masih satu Holding. Tapi rasanya kartu itu tidak cukup membantu untuk suite room. Psikiater konglomerat ini benar-benar sialan!

When I See My First Love (again) Where stories live. Discover now