Bali

3.8K 516 41
                                    

"Tega lo Bang!" keluh Bima dengan mengusap wajahnya.

"Loh, gue salah apa?"

"Lo bilang, Dewi Arimbi kanker otak stadium tiga! Gue malu banget sama Rimbi. Dia pikir gue cuma kasihan sama dia dan---"

"Bukannya lo emang cuma kasihan ya sama Rimbi?" Arjuna terkekeh sembari menaruh cokelat panas di depan Bima.

"Awalnya emang gitu Bang. Tapi sekarang gue bener-bener tulus sama dia. Dia baik, menyenangkan. Dia beneran suka sama gue dan sekarang---"

"Sekarang udah telat." singkat Arjuna.

Bima mengangkat wajahnya, menatap Arjuna dengan kesal. Ia tidak percaya bahwa dalam keadaannya yang seperti sekarang. Ia masih saja tidak mendapat dukungan dari kakaknya sendiri.

"Apa? Gue bicara fakta. Kemana aja lo selama ini? Lo cuekin dia dari jaman kita masih SMA. Dan lo deketin dia gara-gara gue bilang dia kanker otak. Terus sekarang lo bilang, lo tulus? Siapa yang bakalan percaya?"

Bima mendesah pelan, merasa tidak bisa menjawab ucapan Arjuna, "Dia bilang, dia suka matematika gara-gara gue. Padahal dulu gue asal-asalan aja ngomong kayak gitu..." Arjuna tersenyum tipis sembari menyesap cokelat panas dalam cangkir di genggamannya.

"... Gue tahu kalau dia suka sama gue. Dan gue selalu mikir kalau dia bakalan nyerah, dan nganggep gue sebagai cinta monyetnya. Gue nggak nyangka kalau perasaannya bakalan tetep ada setelah sebelas tahun. Dan sekarang dia bilang kalau perasaannya selama ini bukan buat gue. Hati gue sakit Bang. Apakah itu tandanya gue bener-bener udah jatuh cinta sama dia Bang?"

"Bukannya psikiater itu ahlinya masalah hati ya?"

Bima berdecak kesal, "Please lah Bang! Sekali ini aja, kasih tahu gue. Gue harus gimana?"

"Bukannya dari jaman kita SMA gue udah bilang ke lo?"

Bima menundukkan kepalanya, dengan jemari yang meremas-remas rambutnya, "Kenapa nggak lo coba terima Rimbi? Gue udah bilang kayak gitu puluhan kali! Sekarang dia udah pergi. Lo nyesel kan?"

"Sebenernya ... dulu ... gue juga pernah suka sama dia. Cuma lo tahu sendirikan, kalau waktu itu adalah saat-saat terberat buat kita berdua. Gimana gue bisa mikirin cinta-cintaan?"

"Percuma lo ngomong kayak gitu ke gue. Harusnya lo jelasin ini semua ke Rimbi."

"Dia nggak bakal percaya sama gue Bang."

"Roda itu berputar, Bima. Dan kayaknya sekarang giliran elo yang lari-lari ngejar dia."

Bima mengusap wajahnya dengan kasar, "Gue nggak nyangka kalau Rimbi bisa bikin gue gila kayak gini."

"Jangan dong..." Arjuna terkekeh melihat Bima yang terlihat putus asa, "... masa psikiater gila."

"Jadi gue harus gimana Bang?"

"Lo baru sebentar sama dia. Lo yakin udah jatuh cinta?"

"Sejauh ini, gue ngerasa nyaman kalau sama Rimbi, Bang."

"Kalau gitu, kejar lah! Jangan kebanyakan mikir. Masalah diterima atau nggak itu urusan belakangan."

Bima memukul meja dengan kedua telapak tangannya, "Oke!"

"Jangan gara-gara ngerasa bersalah ya Bim. Lo harus bisa bedakan."

"Iya Bang."

***

"Lo nggak mau bisikin gue Mampus?" tanya Rimbi dengan terisak.

Putri tidak bisa menjawab pertanyaan Rimbi. Bagi Putri, semua yang baru saja ia dengar seperti sebuah naskah yang benar-benar dirancang sedemikian rupa untuk menghancurkan segalanya tentang Cinta Pertama Dewi Arimbi. Gadis biasa yang rela diolok-olok semua orang, demi bisa menghabiskan waktu dengan pangeran tampan bernama Bima Cendekia Dharma.

When I See My First Love (again) Where stories live. Discover now