5

5.3K 1.2K 420
                                    

Kami maju mengikuti arahan senior teater di samping Doyoung sampai akhirnya kami diperkenankan membuka penutup mata.

Dan sampailah kami di dalam GOR sekolah dengan Kak Yuta yang duduk di kursi wasit tenis yang tingginya mencapai tinggi badan Kak Johnny.

"Halo dan selamat datang di Pos Strategi," ujarnya santai sambil makan jambu air. "Silakan perkenalkan diri kalian."

Doyoung menghela napas sekilas. "Selamat pagi. Kami dari kelompok tiga dengan saya, Doyoung, sebagai sutradara."

"Saya Lucas, sebagai pemeran," lanjut Lucas.

"Saya Gwensa, sebagai pemeran," lanjutku.

"Saya Jaehyun, sebagai penulis naskah," lanjut Jahe.

"Saya Winwin, sebagai kur dan artistik," sambung Winwin.

Kak Yuta mengangguk paham. "Nah, perkenalkan saya Prajurit Yuta. Kali ini saya akan mengajarkan kalian soal strategi ampuh untuk mengalahkan penjajah."

Ia menunjuk ujung lapangan, di mana terdapat jambu air lainnya. "Kalian lihat di sana ada apa?"

"Jambu air, Kak," sahut Doyoung tegas.

"Pinter." Kak Yuta loncat dari kursi wasit tersebut (kenapa anak-anak teater hobi sekali loncat dari kursi sih?) dan berjalan menghampiri kami. "Saya mau bikin rujak, makanan pemersatu bangsa selain video bo-oke, hampir kesebut." Kak Yuta merangkul Doyoung dengan akrab. "Nah, tapi saya tidak bisa meninggalkan teman-teman saya. Makanya, terserah bagaimana caranya, kalian berlima harus saling terhubung tanpa terputus dari kursi saya menuju jambu air itu."

Aku melongo mendengar ucapannya. Bahkan kalau kami semua tidur terlentang dan saling memegang kaki, kami tetap tidak bisa meraih jambu air itu.

Doyoung langsung merangkul kami dan membuat lingkaran. "Oke, sekarang lepas apa pun yang ada di badan kalian yang bisa jadi penghubung."

"Maksudnya?" tanya Jahe. "Lo mau kita bikin kayak tali buat saling pegang?"

"Peraturannya bilang untuk nggak terputus," sahut Doyoung. Ia membuka pita di dahinya dan merentangkannya. "Sekarang sambung apa pun ke pita ini."

Winwin membuka ikat pinggangnya. "Ini bisa dipake."

Kami langsung melepas segala yang bisa kami sambungkan dengan pita Doyoung. Mulai dari tas senapan Lucas, kemeja yang digunakan oleh Jahe, sampai kaus kakiku (habisnya aku tidak punya apa-apa lagi). Di ujung, Winwin menyangkutkan kakinya ke bangku tenis dan mencengkram ikat pinggangnya, disambung Jahe yang juga tidur terlentang dan menjulurkan kemejanya.

Aku menyodorkan kaus kakiku. "Lucas, pegang!"

Sejenak, Lucas memelototiku. "Beres diklat, gue bius elo pake kaos kaki gue!"

Dih, pendendam.

Doyoung yang berada paling ujung berusaha meraih jambu air. Tangannya menggapai-gapai piring itu seperti seorang polisi yang meraih pistolnya setelah dihajar penjahat. "Kurang woi!" teriaknya. "Kalian bisa lebih jauh lagi nggak?"

Sial, badanku rasanya sudah mau copot.

Akhirnya, setelah merelakan kaus kakiku melar ditarik Lucas, Doyoung berhasil meraih jambu air itu.

Kak Yuta langsung bertepuk tangan excited. "Wih, keren kalian! Apalagi kamu, sutradara!"

Meski ngakak melihat wajah Doyoung yang tersipu, aku luar biasa setuju dengan Kak Yuta.

"Pos Strategi selesai," cetus Kak Yuta ceria. "Nah, sekarang kalian boleh menuju pos lainnya. Tapi ingat, jangan menunjukkan ekspresi apa pun, oke?"

The TrouperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang