12

4K 798 224
                                    

Gwensa

Tubuhku bergetar hebat ketika waktuku tampil di atas panggung datang. Dengan gaun ala bangsawan, aku melangkah menuju ke tengah panggung sambil menunduk.

Aku mengangkat wajahku, membuat mataku langsung menatap mata nyalang satu-satunya orang yang berada di bangku penonton.

Ya, hanya Doyoung.

Matanya itu tajam, seolah mampu menusuk dan mengunyak habis tubuhku menjadi serpihan. Posturnya tegap dengan buku-buku jari yang mencengkeram lengan bangku kuat, membuatku yakin ia bisa saja langsung menerjang kemari jika aku melakukan kesalahan atau barang sedikit menyinggungnya.

Sekarang pertanyaannya: pertunjukan apa yang harus kubawakan?

"Bukannya kita sudah berada di tengah-tengah cerita?"

Dari samping panggung, seseorang menyibak tirai merah dan berjalan ke arahku. Perlahan cahaya menyinari ujung kaki hingga kepalanya, memperlihatkan siapa sosok yang sedang berjalan ke arahku dengan seringaian tajam yang menyeramkan.

Tuan Kim.

"Drama yang menakjubkan," komentarnya entah untuk apa. "Sekarang, kita lihat klimaksnya. Kuharap aku bisa membersihkan panggungnya setelah ini."

Membersihkan panggung?

Seketika keringat dingin mengalir dari pelipisku, menyusuri wajahku, dan menetes ke sepatuku. Tanganku bergemetar tatkala sadar ada pergerakan dari arah bangku penonton.

Dan begitu aku menoleh, aku mendapati Doyoung tengah duduk tegap dengan tangan yang mengacungkan pisau tinggi-tinggi.

Bagaimana kalau kita memainkan naskah Saksi Mati, Gwen? Aku yang menjadi saksi dan kau yang mati?

***

Aku membuka mata dengan napas berburu dan keringat dingin yang bahkan membasahi kasurku. Jangan tanya degup jantungku. Rasanya benda itu sudah mau meledak saking ketakutannya.

Pelan-pelan kustabilkan napasku yang tak keruan. Pening melanda kepalaku tatkala aku bangkit duduk. Kulirik jam di nakas samping kasurku. Sial, ini baru jam sepuluh malam!

Doyoung pasti belum pulang dan aku belum mau menemuinya.

Dengan langkah mengendap-endap, kutempelkan kupingku di daun pintu kamar. Setelah yakin ruang tengah rumahku sepi, aku membuka pintu perlahan dan langsung menghela napas lega mendapati ruang tengah rumahku sudah gelap gulita.

Aku kembali menutup pintu dan terjun ke atas kasurku. Sepintas kulihat layar ponselku menyala, menandakan ada notifikasi di sana. Tapi, sumpah demi apa pun, aku malas mengecek benda canggih itu dan memilih kembali mengistirahatkan tubuhku.

Dan kampretnya benda canggih tadi meraung-raung minta diangkat.

Tunggu... Jungwoo?

"Halo, Gwen," sapanya dari seberang sana. "Emmm, gue ganggu?"

Aku menggeleng, hal bodoh mengingat ini hanya telepon bukan video call. "Enggak, kok. Gue tadi kebangung karna haus."

"Maaf ya kalo gue ganggu." Sejenak kudengar hening. "Gwen, elo nggak kenapa-napa kan?"

"Kok tiba-tiba sih?"

"Semenjak elo... keseleo di tangga sampe bonyok seminggu lalu," Jungwoo berdeham renyah, seolah mengucapkan kebohongan yang kebetulan sekali memang sebuah kebohongan, "gue ngerasa elo jadi banyak diem. Gue khawatir."

Aku kembali melakukan kebodohanku sebelumnya-menggeleng. "Gue nggak apa-apa. Makasih udah khawatir."

"Sebenernya, jauh di lubuk hati gue, gue seneng ngeliat elo berbaur sama semua orang." Jungwoo terbatuk, entah karena tersedak atau sedang menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. "Tapi tetep aja, ngeliat elo yang makin jauh sama Doyoung bikin gue nggak nyaman."

The TrouperWhere stories live. Discover now