21 - [The Trouper] Second

2.4K 631 78
                                    

Author's Point of View

Second: Grapple


"Makasih."

Gwensa menoleh ke belakangnya. Di sana, Doyoung kecil menunduk sambil memainkan sepatunya. "Aku takut Papa," lirih bocah itu.

"Aku tau," balas Gwensa. "Udah, nggak usah dipikirin. Kita baca komik aja yuk."

Doyoung mengangkat wajahnya, membuat matanya langsung bertubrukan dengan manik mata cokelat yang detik itu membuat dadanya terasa hangat. Tatapan itu begitu lembut hingga Doyoung tak sadar ia terpaku.

Ia menyukai mata "si penyelamat"-nya.

Tatapannya mengabur saat Gwensa menarik tangannya dan berjalan menuju rak buku di sebelah meja seorang polisi. Polisi itu mempersilakan keduanya duduk di kursinya sedangkan ia pergi entah ke mana. Di sana Gwensa menyodorkan sebuah komik pada Doyoung.

"Apa ini?" tanya Doyoung bingung.

"Tokimeki Tonight," jawab Gwen.

"Tokimeki Tonight?"

"Iya. Ceritanya seru, lho! Tentang bangsa setan yang jatuh cinta sama manusia."

"Ini bacaan untuk anak-anak?"

"Mungkin."

Gwensa mengambil salah satu volume komik dan membukanya di sebelah Doyoung. Doyoung ikut memperhatikan dengan wajah penasaran.

"Sebenernya ada satu kisah yang aku suka juga di komik ini sih. Cerita adiknya Ranze, namanya Rinze." Dengan telaten Gwen membuka lembar demi lembar itu, membayar rasa penasaran Doyoung pada kisah komik di tangannya. "Rinze itu hidupnya kekal, tapi dia cinta sama gadis sakit-sakitan yang sekarat dan akhirnya dia rela nuker hidup abadinya buat gadis itu."

Doyoung menatap Gwen takjub. "Kamu pinter. Aku masih butuh waktu lama buat ngerti bacaan yang aku baca."

Gwen terkekeh menatap Doyoung yang dengan polos memujinya. "Aku pinter?"

Doyoung mengangguk yakin.

Lagi-lagi Gwensa terkekeh. Kali ini agak keras. Bukan karena ia merasa tersanjung, tapi ia tahu soal kemampuan dirinya dan bagaimana Doyoung mengatakannya membuat Gwen merasa bocah di depannya ini kelewat polos.

"Aku nggak pinter," bantah Gwensa. "Aku cuma sering baca aja."

"Kamu pinter," ulang Doyoung kukuh. "Kamu tadi nyelamatin aku. Kamu tau aku lagi nggak mau deket-deket Papa."

"Oh, soal itu." Gwen berdeham, bingung juga bagaimana menjelaskannya. "Aku selalu belajar bahwa yang terjadi di sekitar kita itu punya plot."

"Plot?"

"Sebab-akibat," terang Gwen. Ia menunjuk beberapa memar di pelipis Doyoung. "Kamu nangis karena itu, kan? Penyebabnya mungkin jatuh. Tapi tangan papa kamu nyengkeram tangan kamu kuat banget, nggak kayak ayah lagi ngegandeng anaknya."

Kini Doyoung terbelalak. Ia tidak menyangka gadis kecil di depannya bisa berpikir hal sedetail itu. "Kamu itu beneran anak kecil? Atau kayak bocah yang ada di film Orphan?"

Gwen tersenyum, merasa lucu Doyoung yang mengatakan dirinya bocah saat diusia belianya dia tahu film sadis itu. "Nggak usah dipikirin."

Doyoung mengangguk, pikirannya sesederhana bahwa gadis kecil di depannya hanya malas menjawab. Ia kembali meraih novel di depannya dan membacanya. "Ranze itu ceroboh ya?"

"Iya, dia kelewat polos kayak kamu." Gwen cekikikan. "Ranze polos, tapi karena kepolosan dia, dia merjuangin Makabe mati-matian sampai nggak sadar dia sendiri dalam bahaya."

Gwen menghela napas berat. Dengan tatapan nanar, Gwen mencoba tersenyum. "Aku juga pengen berjuang kayak Ranze biar aku nggak ditinggalin lagi..."

"Kamu ngapain berjuang?" Doyoung menggeser duduknya dan kini duduk berhadapan dengan Gwensa. Bocah polos itu mengusap rambut Gwen pelan seraya tersenyum, berusaha menenangkan gadis di depannya yang sebentar lagi bakalan menangis. "Harusnya kamu yang diperjuangin."

"Gimana orang lain mau merjuangin aku?" Gwensa menatap Doyoung pilu. Terpatri di matanya luka yang menganga dari gadis kecil itu. "Ayah aku aja ninggalin aku. Nggak mungkin ada orang yang bakal mau nerima aku kalo aku nggak berjuang."

Doyoung kecil yang polos dengan pemikiran sederhana bahwa gadis ini jelas hanya ingin seseorang menyayanginya. Ia memeluk Gwensa lembut, seperti pelukan bocah ketika temannya sedang kesusahan. Pelan, ia menepuk punggung Gwensa pelan, sebagaimana adegan yang Doyoung lihat saat menonton film anak-anak di teve.

"Aku suka kamu," ucapnya polos, masih dengan tangan yang mengelus dan menepuk punggung Gwensa yang terisak pelan. "Kamu baik, mau nolong aku. Sekarang gantian aku yang tolong kamu dengan jadi orang yang mau merjuangin kamu."

Dalam isaknya, Gwensa mengangguk. "Makasih. Aku sedih sekarang aku harus ngelakuin segalanya sendiri."

"Kita harus kuat," sahut Doyoung. "Bunda baru meninggal tadi malem. Aku nangis terus tapi Papa bilang Bunda nggak akan balik lagi mau segimana pun aku nangis."

Kini giliran Gwensa yang merasa bocah di depannya mengenaskan. Ia mengangkat tangannya dan ikut mengusap punggung Doyoung pelan. "Kamu punya aku."

Dua bocah polos yang sejauh ini mengartikan ucapan mereka sebagai sebuah penghibur sederhana tanpa benar-benar mengerti makna lainnya. Keduanya memeluk satu sama lain, menguatkan masing-masing bahwa masih ada manusia lain yang ada untuk mereka.

Meski begitu, dalam hati, Doyoung sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dengan "memperjuangkan" yang ia lontarkan. Yang bocah kecil itu tahu bahwa berjuang untuk Gwen artinya membela gadis kecil itu, menemaninya, menghapus air matanya, dan selalu bersama gadis yang bahkan ia tidak tahu apakah mereka akan bertemu lagi setelah keluar dari kantor polisi ini atau tidak.

Tapi siapa yang sangka, sembilan tahun kemudian keduanya berjuang demi satu sama lain dengan pikiran polos masa kecil mereka sebagai landasan.






Kamu punya aku.






The TrouperWhere stories live. Discover now