BAB 15

16.8K 1.7K 420
                                    

Bab 15

"Za, apa-apan, sih, kamu. Lepasin! Tangan aku sakit." Rintihan Yasmin sedari tadi laki-laki itu abaikan. Persetan dengan perlakuan kasarnya. Yang jelas, dia marah dan Yasmin dapat melihat itu dari matanya. Mata yang biasa menatap dia lembut juga penuh kasih sayang itu lenyap, bergantikan dengan tatapan tajam menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Sumpah, Yasmin tak pernah melihat ekspresi seperti ini dari Raza. Karena sejatinya, selama hubungan mereka berlangsung, Raza tak pernah marah padanya. Membentak saja sepertinya laki-laki itu tak pernah.

Raza menulikan pendengarannya. Dia membuka kunci mobilnya, membuka pintu, lalu menyuruh Yasmin untuk masuk sebelum akhirnya dia ikut masuk. Mereka duduk di kursi belakang.

"Kamu utang penjelasan sama aku," ujarnya dingin, membuat Yasmin menatap kekasihnya itu dengan pandangan takut. Raza tak pernah seperti ini sebelumnya.

"Aku udah coba untuk ngerti dan sabar dengan gelagat aneh kamu dari kemarin. Bukannya aku nggak sadar, tapi aku pengin kamu berhenti." Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya, lalu meremas rambutnya. "Sabar aku kamu sia-siakan, Yas. Selamat, kamu berhasil," ucapnya rendah, tetapi Yasmin dapat merasakan rasa sakit itu. Dia yang mendengarnya saja merasa sesak. Hingga tanpa sadar, air matanya keluar. Yasmin terisak, tetapi Raza tetap bergeming di tempatnya. Padahal, biasanya laki-laki itu akan memeluknya jika melihat dia menangis secara langsung seperti ini. Melihat semua ini, Yasmin benar-benar sadar kalau Raza memang marah.

"Aku begini karena kamu," kata Yasmin di sela isak tangisnya. Perempuan itu buru-buru mengusap air matanya yang keluar terus-menerus, lalu menatap lurus pada sosok Raza yang juga tengah menatapnya intens.

"Kamu terlalu cuek. Aku capek harus kayak gini terus. Aku capek sama hubungan ini."

Raza tertawa getir. "Capek?" Rasanya, ini lebih menyakitkan daripada dugaannya. Mendengar kalimat itu dari orang tersayangnya jelas saja membuatnya terluka. Ternyata, bukan hanya luka fisik saja yang menyebabkan rasa sakit. Yasmin memang bukan pacar pertamanya, tetapi rasanya dia belum pernah merasa sesakit ini saat hubungan dengan kekasih pertamanya terputus begitu saja.

"Kamu terlalu sibuk dengan segala urusan kamu. Jujur aja, rasanya berat banget untuk aku bertahan lebih lama sama kamu. Malam ini pun, katanya kamu capek pengin istirahat. Tapi, apa buktinya? Aku malah ketemu kamu di sini. Syukurlah, aku memang berharap semuanya cepat selesai."

Raza terdiam, mencerna kata demi kata yang dilontarkan kekasihnya itu. Tadi Yasmin berkata capek, lalu sekarang perempuan itu berucap ingin selesai. "Maksud kamu?"

"Kita selesai. Aku ingin itu."

"Yas?" Raza terkejut bukan main. Kita selesai? "Apanya yang selesai, Yas?" tanyanya dengan panik.

Yasmin terlihat memejamkan matanya sejenak, mencoba mengontrol emosinya sendiri. "Aku mau kita putus, Za. Cukup di sini aja. Aku nggak bisa untuk pura-pura kuat lagi, aku nggak mampu. di saat teman-temanku yang lain asyik double date, aku sendiri yang nggak bisa. Di saat mereka menghabiskan akhir pekan sama pacarnya, cuma aku yang nggak bisa karena kamu capek atau bahkan kamu punya kesibukan sendiri. Terkadang, aku heran, Za. Sebenarnya, kamu ini butuh aku, nggak? Aku rasa ... aku ini cuma sebagai pelarian kamu aja di saat kamu lagi butuh teman." Perempuan itu menggeleng. "Aku nggak bisa lagi."

"Yas? Kamu ..., oh, shit!" Raza rasa lidahnya pun kelu. Dia kehabisan kata-kata. Kenapa rasanya sesesak ini?

"Hubungan ini terasa hambar buat aku. Mungkin sebaiknya kita jalan masing-masing dulu, Za."

"Yas, please. Tarik kata-kata kamu."

Yasmin menggeleng.

"Aku nggak bohong soal capek dan pengin istirahat malam ini. Tapi, tiba-tiba aja Mama minta antar. Da—"

[Not] FellowshipDonde viven las historias. Descúbrelo ahora