BAB 23

16.1K 1.8K 457
                                    

Bab 23

Tiga puluh menit berlalu, Ola bak patung yang masih diam di posisinya. Berkali-kali perempuan itu mengembuskan napas dengan kasar, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sungguh, hal ini tak pernah ada dalam benaknya sekalipun. Ya Tuhan, lantas apa maksud nama file tersebut? Siapa yang jadi matahari, untuk siapa? Memikirkannya saja Ola merasa pusing. Mendadak kepalanya pening. Ingin segera pergi rasanya, tapi tak semudah itu. Dia tentu sangat butuh penjelasan dari Raza. Rasa ini benar-benar sangat mengganggunya.

"Ini nggak mungkin," gumamnya, penuh keputusasaan. Ola yakin, semua orang yang melihat kondisinya saat ini dapat merasakan kegundahannya. Kenapa harus Raza? Kenapa harus orang yang satu-satunya dia miliki?

Seperti orang yang kehilangan akalnya, Ola linglung. Dia seperti tak tahu harus pulang ke mana dan melakukan apa. Dia memilih memejamkan matanya sejenak, berharap semoga laki-laki itu cepat bangun. Bukannya tak sanggup untuk membangunkan Raza, hanya saja Ola pikir, situasinya akan semakin canggung. Oh, entahlah, situasi macam apa ini? Ola benar-benar tak pernah mengharapkannya sama sekali.

Namun, dia tak mungkin menghindar juga. Ola butuh penjelasan mengenai foto miliknya di file tersebut yang Ola saja sampai dibuat terkejut setengah mati. Bahkan dia sendiri sampai lupa kapan potret itu diambil. Pasalnya, itu bukan foto dia yang sekarang. Namun, satu dugaannya, kalau potret tersebut adalah dirinya sewaktu SMA. Jadi, maksudnya apa? Kalau hanya potret dalam folder biasa, mungkin Ola akan bertindak biasa saja, tapi yang mengganggu pikirannya adalah nama file tersebut. Sunshine, huh?

"La?"

Panggilan pelan itu membuat lamunannya buyar. Ola sampai tak sadar kalau sedari tadi dia bergerak gelisah dengan kaki yang tak bisa diam, itu ternyata membangunkan Raza.

Laki-laki itu tampak mengusap-usap rambutnya sebelum akhirnya beranjak dan duduk. Matanya memerah, jelas menunjukkan kalau pria itu memang baru saja bangun tidur. Andai dalam situasi seperti biasa, Ola jelas akan meledek sahabatnya itu habis-habisan. Apalagi dengan muka bantal laki-laki itu yang sangat menggelikan. Namun Ola berusaha mengenyahkan hal tersebut karena masih ada sesuatu yang lebih penting daripada itu yang harus mereka bahas. Ola tak bisa diam saja dan memendam rasa penasarannya ini sendirian.

"Udah lihat fotonya, La?" tanya Raza lagi saat melihat sahabatnya itu malah menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ditebak. Padahal, sebelum dia tidur, perempuan itu heboh sendiri ketika melihat potret masa putih abu-abu mereka.

"La, hey, kenapa?"

"Ha?"

"Kenapa, sih? Malah bengong kayak gitu."

Ola tersenyum canggung untuk yang pertama kalinya, setelah kedekatan mereka selama beberapa tahun ini. Rasa ini benar-benar asing, Ola membenci situasi tersebut. Bingung untuk memulai dari mana, akhirnya perempuan itu memilih untuk menyodorkan laptop hitam itu ke si pemilik, dengan tampilan yang menunjukkan folder yang memuat fotonya. Reaksi Raza pun sesuai dugaannya, mata laki-laki itu membulat kaget, lalu memandang Ola dengan resah. Ya, Ola tahu, tentu saja tahu apa yang laki-laki itu rasakan.

"La, ini—"

"Maksudnya apa, Za?" potong Ola dengan cepat. Perempuan itu menggigit bibir bagian dalamnya dengan keras, menahan rasa sesak di hatinya. Entahlah, rasanya seperti ada ribuan jarum yang menusuk jantungnya dan rasanya sangat menyakitkan. Kedua mata cokelat itu pun tampak berkaca-kaca. Sebisa mungkin, Ola menahan lelehan air matanya supaya tidak meluncur bebas.

"La, sorry. Jangan nangis, please."

Ola memalingkan wajah, dengan kedua tangan yang mengepal erat. Tak perlu penjelasan panjang, sepertinya Ola mengerti.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now