BAB 16

17.4K 1.7K 372
                                    

Bab 16

Siang harinya, Raza pergi ke studio dan mengabaikan jadwal kuliahnya sendiri. Pesan serta telepon dari Fajar yang menanyakan keberadaannya pun diabaikan begitu saja. Bukannya tak ingat jika dia mempunyai kelas pagi hari ini, hanya saja rasa malas masih menguasai dirinya sepenuhnya. Raza tahu jika berlarut-larut dalam kesedihan bukanlah hal yang baik. Dia pun tak ingin membela dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh hari ini.

Suasana studionya tampak sudah ramai. Jam memang sudah menunjukkan pukul satu siang. Mungkin saja sebagian teman-temannya sudah selesai kelas. Iya, studio yang awal mula dikelola tiga orang, sekarang sudah bertambah. Mereka suka silih berganti ke studio jika kelas mereka selesai. Bahkan bisa Raza lihat, Ninja milik Baz sudah terparkir rapi di depannya.

"Za," sapa Baz begitu dia masuk.

Raza mengernyit bingung saat melihat raut wajah khawatir dari sahabatnya itu. Namun, kalimat Baz selanjutnya membuat Raza mengerti dan hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Lo benaran putus sama si Yas? Terus, acara nanti malam gimana?" tanya Baz dengan pelan, setelah memastikan jika tak ada orang yang akan mendengar perbincangan mereka.

Pagi tadi, dia dikejutkan dengan berita yang kekasihnya sampaikan. Dia cemas akan sahabatnya. Apalagi, dia dan Fajar sudah melaksanakan perintah Raza untuk mendekorasi apartemennya. Memang tak banyak yang mengetahui hal ini, hanya mereka berdua di antara banyaknya teman mereka.

"Batal," jawab Raza dengan singkat, lalu ikut duduk di samping Baz yang masih merasa tak puas dengan jawabannya.

Raza tahu itu, tetapi dia sedang malas untuk menceritakan drama menyedihkan semalam. Seakan mengerti, Baz pun hanya menepuk bahunya satu kali, kemudian meninggalkannya sendiri.

Baz hanya perlu mengerti tentang kondisi temannya, bukan? Meskipun dia tak pernah merasakan hal demikian, tetapi Baz tetap tahu apa yang Raza rasakan. Dia sendiri pun tak menyangka jika Yasmin bisa berkhianat seperti itu.

Dia bahkan sempat terkagum-kagum pada Raza, saat sahabatnya itu meminta tolong padanya untuk acara nanti malam. Apalagi jika bukan tentang keseriusan laki-laki itu dalam menjalin hubungan.

Jujur saja, dia sendiri belum berani untuk senekat Raza. Baz masih ingin menikmati masa mudanya yang bebas. Dia yakin, setelah menikah, semuanya pasti berbeda, tanpa disadari ataupun tidak.

Raza yang tengah duduk bersandar seraya memejamkan kedua matanya pun merasa terganggu ketika suara rusuh milik Fajar dengan lantang memanggil-manggil namanya.

Dia refleks mendelik saat melihat sahabatnya yang sedang cengar-cengir itu. Bisa Raza lihat kalau Fajar mendekat, tanpa dia duga laki-laki itu langsung saja memeluknya dengan erat yang tentu saja Raza tangkis sebisa mungkin.

"I know what you feel, Za."

"Jangan pakai peluk juga kali, Jar. Jijik lo." Raza menepuk-nepuk badannya seolah ada debu yang menempel di sana. Reaksi Raza yang seperti itu membuat Fajar berdecak. Namun itu tak bertahan lama, Fajar kembali menyuarakan rasa sedihnya.

"Jangan sok galau lo, gue tahu lo senang karena ada teman," ucap Raza, berusaha tak memedulikan sahabatnya yang masih mengoceh. Dia tidak butuh dikasihani.

"Eh, teman apaan? Gue tulus, lho, Za. Lo mah suka gitu, dikasih hati minta jantung. Gue mah sabar aja, mungkin jodoh gue masih dalam kandungan."

"Sarap!" seru Baz yang kembali dengan tiga kaleng minuman di tangannya, lalu melemparkan kepada dua temannya masing-masing.

"Eh, Baz, lo udah pulang duluan? Si Shami nyariin lo kayak anak hilang. Parah lo. Gue embat baru tahu rasa."

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang