BAB 30

15.8K 1.9K 330
                                    

Bab 30

Isakannya kini berubah jadi tangisan menyedihkan. Tak peduli rasa pusing di kepalanya, perempuan itu masih saja mengeluarkan air mata. Jauh di dalam lubuk hati, dia memerlukan pelukan hangat sang ayah. Hanya saja, dia tak bisa. Dia ingin papanya merasakan apa yang dia rasakan. Terkesan jahat? Ya, Ola menyadarinya.

Ola terdiam selama beberapa saat, tangisannya pun sudah mereda. Kilas balik, entah kapan karena Ola sendiri lupa, dia pernah mendapati papanya keluar dari ruang kerjanya pagi-pagi. Apa memang sudah sejak kejadian itu hubungan mereka renggang? Meski memang sudah bukan hal asing mendapati sang ayah ketiduran di sofa, tapi rasanya agak ....

Hati Ola kecewa. Sepertinya ada yang salah dari dirinya, sehingga tak menyadari gelagat orang tuanya.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lalu, selama itu sang ayah menunggunya di luar?

Perlahan, kakinya dia turunkan. Meraih dompet dari dalam tasnya, lalu mengambil beberapa lembar uang dari sana dan memasukkannya pada saku baju tidur. Mengendap pergi keluar kamar, dan setelah melihat situasi rumahnya aman tanpa ada seseorang yang akan memergokinya, Ola berlari kecil menuju pintu luar. Dilihatnya pula Pak Man yang sedang setengah tertidur di kursinya. Oke, sebentar lagi dia akan bebas.

Tak memedulikan bagaimana kacaunya dia, Ola pun pergi hanya berbekal uang tunai yang ada di dompetnya. Dia sungguh butuh udara segar untuk melepas rasa sesak yang menggunung di hatinya.

***

Mata dengan setengah mengantuk itu menyipit saat melihat seseorang berjongkok di depan pintu apartemennya. Raza tak bisa melihat wajahnya karena sebuah hoodie berwarna hitam terpasang di tubuh orang itu. Hanya saja, tampak familier. Raza bisa mengenali kalau itu salah satu hoodie miliknya saat dia lihat dari dekat.

"Za?"

Raza jelas terkejut. "Ngapain malam-malam ke sini?" tanyanya dengan refleks. Kedua alisnya bertautan.

Ola yang sudah berdiri dari posisinya pun mengerucutkan bibirnya. "Nunggu kamulah, emang siapa lagi?!" serunya kesal.

Raza berdecak pelan, merasa gemas sendiri dengan tingkah Ola. "Bodoh! Lihat ini udah jam berapa? Hampir jam sebelas malam, kamu masih keluyuran di luar? Ayo, aku antar pulang."

Cekalan Raza di pergelangannya pun langsung Ola tepis. "Nggak mau!"

"Ola."

"Raza."

Raza memalingkan wajah saat Ola malah berbalik memanggil namanya.

"Ya udah, ayo masuk dulu. Kita bicara di dalam," ucapnya seraya membuka kunci pintu dan menarik tangan Ola untuk masuk.

"Aku nggak bawa ponsel dan nggak tahu harus ke mana lagi. Makanya ke sini," jelas Ola. Sekarang, keduanya sudah duduk bersisian di sofa. Ola yang bersedekap dengan bibir manyun.

"Masih untung aku pulangnya ke sini. Gimana kalau aku pulang ke rumah?"

Ola mengedik tak acuh. "Password-nya kamu ganti, sih, jadi aku nggak bisa masuk. Aku tidur di sini, ya, Za?"

"Nggak," balas Raza dengan cepat. "Kamu harus pulang."

"Za!" Ola merajuk. "Kamu ini ...."

"Orang tua kamu pasti khawatir, Sayang. Ayo, aku antar kamu pulang."

Meski sempat terkesima karena dipanggil Sayang oleh Raza, Ola tetap saja merasa dongkol dengan pacarnya itu. Lagi pula, sangat mustahil rasanya jika kedua orang tuanya khawatir. Buktinya, memilih berpisah tanpa memedulikan putri mereka pun mereka sanggup. Menatap mata laki-laki itu dengan memohon, Ola berkata lagi. "Aku lagi nggak mau pulang, please."

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now