BAB 33

14.6K 1.8K 422
                                    

Bab 33

Alih-alih merasa lega atau bahkan merasa senang karena Raza tak protes saat dirinya memilih untuk pindah tempat, Ola justru semakin merasa dongkol. Apalagi beberapa saat setelahnya, pacarnya itu menerima telepon yang bikin Ola senewen. Bagaimana tidak dongkol kalau obrolannya tentang apa tadi? Baju? Memangnya habis ngapain mereka? Kenapa perempuan itu menanyakan tentang bajunya pada Raza? Sialnya, begitu ditanya pun pacarnya itu malah menjawab, "Tidak penting."

Cih!

Ola masih ingat percakapan yang didengarnya beberapa menit lalu, sebelum pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Dengan wajah tanpa dosa, Raza justru menyuruhnya untuk makan. Padahal, jangankan untuk makan, yang ada Ola malah semakin kesal dan pengin nangis. Ya, Ola tahu mungkin sikapnya kekanakan. Tapi, bagaimana lagi?

"Kenapa nggak dimakan?"

Tak ingin menanggapi pertanyaan Raza, akhirnya Ola hanya memalingkan wajah. Iya, dia masih dalam mode kesal. Sekesal-kesalnya.

"La?"

Tangannya mengaduk-aduk makanan dengan malas. Sedangkan Raza yang sudah menandaskan makanannya pun menatap kekasihnya dengan kening yang berkerut. "La, kenapa, sih?"

"Ola, kamu kenapa?" Raza beranjak dari posisinya, lalu duduk di samping Ola, membuat perempuan itu menggeser kursinya sedikit lebih jauh yang malah membuat Raza menatapnya geli. Olanya sedang merajuk. Namun untuk apa?

"Hey—"

"Apa, sih, berisik banget. Diem, deh, kamu."

Akhirnya Raza mengangguk. "Oke," ucapnya masih dengan senyum geli tersungging di bibirnya.

Mendapati pacarnya yang diam dan kembali fokus dengan ponselnya membuat Ola tambah kesal.

"Kamu nggak peka banget, sih, jadi pacar!" serunya, kemudian merebut ponsel yang membuat pacarnya itu mengabaikannya. Uh, dasar ponsel sialan! Sedikit membanting benda pipih tersebut di meja, Ola menatap Raza dengan kesal. Pipi putihnya pun berubah merah. Alih-alih merasa takut dengan ekspresi marahnya, Raza merasa Ola terlihat menggemaskan,

"Tadi kamu yang nyuruh aku diam, kan?" Masih dengan nada santainya, Raza bertanya yang sontak saja dibalas delikan tajam oleh Ola.

"Terserah! Terserah kamu!" gerutu Ola sambil mengambil tas selempang juga ponsel yang semula dia letakkan di meja dengan cepat, lalu beranjak dari duduknya, membuat Raza gelagapan. Oke, Ola-nya benar-benar marah sekarang.

"La? Hey, mau ke mana?"

"Pulang," jawab Ola seraya berusaha menepis tangan Raza yang terus berusaha menghentikan langkahnya.

"Aku antar, tunggu sebentar. Aku bayar dulu, oke?" Raza memegang kedua tangan kekasihnya, memohon. "Tunggu bentar, oke? Ya, Sayang?"

Ola mendengkus, melepaskan tangan Raza dari kedua tangannya, lalu berlalu begitu saja. Sorry, ya, Za, panggilan sayangnya Ola abaikan kali ini. Biar laki-laki itu tahu, bagaimana rasanya diabaikan.

Dengan sesekali mengembuskan napas, Ola melangkah dengan berat. Entahlah, dia benar-benar merasa lemah akhir-akhir ini. Sedikit-sedikit, bawaannya ingin menangis. Ola benar tak suka diabaikan. Cukup dia diabaikan oleh orang tuanya saja, Raza jangan. Ola hanya punya Raza sekarang. Mbak Dila, temannya selain Raza, pun menjauhinya.

Air matanya menetes tanpa permisi, Ola tak berusaha untuk mengusapnya. Tak peduli dengan tatapan penasaran beberapa orang yang berada di sekitar. Oh, Tuhan, Ola benar-benar rindu ayah dan ibunya. Ola merindukan kebersamaan hangat singkat mereka di akhir pekan.

Kedai es krim dan toko cokelat yang biasanya selalu menarik perhatiannya pun sekarang tidak berarti apa-apa. Ola tak butuh itu semua. Ponselnya yang bergetar sedikit mencuri perhatiannya. Ternyata pesan dari Raza.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang