BAB 45

11.5K 1.2K 654
                                    

Bab 45

"Terdengar seperti ... pelampiasan?" Setelah berkata demikian, perempuan itu terbahak. "Sial banget nggak sih, Za. Dua kali ditinggalkan karena pacar lo masih cinta sama mantan. Saran gue, mending lo cari pacar yang nggak punya mantan. Biar nggak berpaling."

"Bodoh amat, Sel," balas Raza, tak memedulikan sepupunya yang sedang mentertawakannya begitu puas. Rasanya sangat menyebalkan. Padahal niat dia bercerita pada sepupunya ini, berharap hatinya sedikit tenang. Namun sialnya, dia malah dijadikan bahan tertawaan.

"Pantas lo jadi kuncen di studio mulu satu minggu belakangan ini," ucap Aksel sambil manggut-manggut.

Ya, tak terasa sudah satu minggu mereka tak bertemu, bertegur sapa, atau bahkan saling berkomunikasi lewat media apa pun. Sejujurnya, Ola kerap menghubunginya meski hanya berisi sapaan. Bahkan, Ola juga sudah menyampaikan permintaan maafnya lewat pesan.

"Dia masih suka kirimin lo pesan? Beuh, nggak tahu malu banget." Sepupunya itu menggeleng dramatis, selepas Raza mengutarakan bahwa Ola masih suka menghubunginya.

"Jangan bilang lo ikut balas pesannya," tuduh Aksel sembari menyipitkan mata, lalu berdecak pelan. "Koar-koar mau move on, kalau pada akhirnya tetap ladenin mantan mah tetap kagak bakalan berhasil. Pegang kata-kata gue."

"Siapa yang bilang gue balas?" gumam Raza cuek, menatap sepupunya dengan malas. Sepertinya, curhat pada Aksel bukanlah solusi yang tepat. Alih-alih merasa tenang, telinganya malah terasa panas karena omelan perempuan itu.

Aksel yang tengah minum langsung tersedak, kemudian menepuk-nepuk dadanya. "Seriusan? Lo nggak lagi bohong, kan?" tanyanya, setengah berteriak. Raut wajahnya jelas menunjukkan kalau dia sama sekali tak percaya dengan ucapan Raza, membuat laki-laki itu melengos.

"Nyesal gue bilang sama lo."

Sepupunya itu kembali cekikikan. "Sorry. Cuma, ya ... agak sulit dipercaya, sih. Salut gue sama lo, mengingat gimana bucin-nya lo sama Ola. Ups." Perempuan itu menutup mulutnya saat mendapat tatapan tajam dari sang sepupu.

"Bucin? Bucin apaan, sih?" gumam Raza dengan polosnya.

Sementara di tempatnya, Aksel melotot. "Lo lahir zaman kapan, deh, masa nggak tahu arti bucin."

Raza hanya mengedik, lalu beranjak dari posisi tidurnya untuk menghampiri sang tante yang baru saja datang, kemudian menyalaminya.

"Lho, Za, tumben. Udah lama?"

Raza tersenyum kecil. "Baru pulang dari salon, Tan?"

Sang tante menggeleng. "Habis ketemu sama Mama kamu, emangnya kamu nggak tahu?"

Raza hanya menampakkan raut wajah kagetnya, lalu ditanggapi gelengan oleh Jihan. "Udah nggak pulang berapa hari kamu?" gumamnya, tersenyum geli sambil menepuk pelan bahu keponakannya. "Udah makan, belum? Kalau belum, makan dulu, gih," ucapnya, lalu melenggang pergi menuju putrinya. "Aksel Sayang, kamu dari pagi belum makan nasi. Makan dulu sama Raza."

"Malas, Ma, nggak lapar."

"Anak kecil, jangan sok-sokan diet. Bentar lagi ujian, kan?" ucap Raza. Sementara Jihan hanya menghela napas dan pergi. Menghadapi putri semata wayangnya itu memang cukup susah. Biasa, remaja dan segala keinginannya.

Aksel mengedik, dengan pandangan fokus menatap ponselnya. "Ujian bentar lagi, terus LDR-an," gumamnya. Sedangkan di tempatnya Raza hanya menggeleng. Aksel bilang, pacarnya—yang sampai saat ini menjadi misteri karena perempuan itu sama sekali tak mau memberitahunya—itu akan ambil kuliah di Yogyakarta.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang