BAB 47

14.3K 1.5K 795
                                    

Bab 47

Setelah menginap satu malam, itu pun atas permohonan Karina, akhirnya Ola kembali ke Jakarta. Sejujurnya, begitu tahu mengenai kejadian yang sebenarnya, yang Ola inginkan adalah langsung pulang. Namun Karina mencegahnya. Melihat bagaimana perempuan itu terlihat begitu mencemaskan dirinya dengan sangat tulus, Ola pun akhirnya bersedia. Meski dia harus menekan rasa sakitnya lebih dalam lantaran Ola tak ingin dipandang menyedihkan. Meski kehidupannya memang sangat menyedihkan, tetapi Ola tetap tak ingin dipandang demikian.

Dia ikhlas. Lebih tepatnya, dia mencoba untuk mengikhlaskan segala hal yang telah terjadi pada dirinya. Tepat pukul dua siang, Ola tiba di rumah. Perempuan itu mengernyit heran, saat mendapati mobil sang ayah sudah terparkir rapi di pekarangan. Ini hari Jumat, pukul dua siang, rasanya terlalu pagi untuk ayahnya pulang. But, who knows?

Ola mengedik tak acuh, kemudian kembali menyeret kopernya dan berjalan menuju rumah. Bibi Mar yang sedang menyapu halaman itu menatapnya dengan terkejut. "Eh, Nola sudah pulang?"

Ola hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Mengulurkan kopernya saat Bibi Mar menawarkan bantuan.

"Papa udah pulang, Bi?"

"Eh, iya. Bapak baru saja pulang, Non. Bapak ada di halaman belakang bersama Ibu."

Ola menaikkan sebelah alis mendengar penuturan sang bibi, sebelum akhirnya Bibi Mar menjelaskan kalau papanya itu sedang bersama Mbak Dila.

"Oh, ya sudah. Ola naik ke atas dulu, ya. Eh, Bi, boleh minta tolong buatin makan siang? Aku nggak sempat makan tadi," pintanya yang tentu saja langsung Bibi Mar iyakan. Entahlah, rasanya makanan di pesawat tadi tidak dapat menggugah seleranya. Ola rindu masakan Bibi Mar.

"Ola, kamu udah pulang, Nak?" Ola yang hampir sampai di lantai dua itu menoleh saat mendengar sapaan dari sang ayah. Di sampingnya, ada sosok Mbak Dila yang menemani. Perempuan itu tersenyum padanya. Meski Ola kerap menunjukkan wajah tidak sukanya, anehnya Mbak Dila selalu saja memperlakukannya dengan baik.

Ola mengembuskan napasnya dengan pelan, sebelum akhirnya membalikkan badan dan turun kembali untuk menemui sang ayah. Melihat pemandangan semacam ini memang sudah tak aneh bagi Ola sekarang. Pasalnya, saat sang ayah pulang dari rumah sakit pasca-kecelakaan, Mbak Dila terlampau sering mengunjungi rumahnya.

Lagi pula, dia hanya perlu bersikap bodoh amat, seolah tak terjadi apa-apa dalam hidupnya meski pada dasarnya dia amat susah untuk melakoni perannya ini. Kadang kala, rasa muaknya kembali muncul dan menguasai pikirannya. Namun, dia bisa apa selain menerima? Menyuarakan pendapatnya saja Ola yakin tak akan digubris sama sekali.

Dia hanya mengangguk begitu tiba di hadapan sang ayah.

"Kenapa nggak lama? Gimana kondisi Kavin sekarang?"

Ola terdiam cukup lama seraya memandang sang ayah, sebelum akhirnya menyatakan isi hatinya. "Jadi Papa sudah tahu kalau Kavin sakit?" ucapnya seraya tersenyum getir. Padahal Ola jelas telah mengetahui jawabannya seperti apa. Ola hanya ingin membuktikan saja kalau papanya memang benar-benar tahu.

Mendengar putrinya berucap demikian, Adinata terkesiap barang sesaat. Pria itu tampak gelagapan dan salah tingkah saat ditatap intens oleh putrinya. Mata putrinya yang memancarkan kekecewaan itu menimbulkan sedikit rasa sakit di hatinya. Dia tak suka melihat putrinya bersedih, sangat tidak suka.

"Kenapa Papa nggak pernah bilang sama Ola? Kenapa Papa malah sembunyikan semua ini dan bikin Ola mikir yang bukan-bukan soal Kavin?" Ola berucap lirih, tetapi penuh penekanan, mengisyaratkan kalau dia benar-benar kecewa pada sang ayah.

"Nak ...."

Ola menggeleng lemah, dengan kedua tangan membekap mulutnya menahan isak tangisnya sendiri. Dia amat kecewa pada kedua orang tuanya yang sudah menyembunyikan semua ini darinya. Terutama pada mamanya. Bagaimana bisa mamanya begitu kejam dan bertindak egois dengan memisahkan dia dan Kavin?

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now