BAB 35

15.4K 1.7K 273
                                    

Bab 35

"Tumben udah pulang, masih sore, lho."

Raza yang baru saja duduk melirik sang mama yang seperti biasa, entah pulang masih sore, pulang terlalu malam, atau bahkan sampai nggak pulang sekalipun, selalu saja sangat senang menggodanya. Beruntungnya, dia sudah cukup kebal dan tahu kelakuan mamanya yang satu ini. Hingga pada akhirnya, mencari jalan aman, dia hanya menggumam menanggapi, kemudian ikut mencomot brownies yang sudah menjadi camilan wajib di rumahnya, pasalnya kue satu ini selalu ada di setiap saat.

"Ola nggak ke sini?" tanya mamanya kemudian.

"Nggak."

"Jangan lupa ajak dia minggu depan ke sini. Sama pacar jangan cuek-cuek gitulah, Bang."

"Maksud Mama?" Raza bertanya seraya mengernyit, menatap mamanya dengan ekspresi pura-pura tak mengerti. Bisa dia dengar setelahnya, sang adik yang duduk di sampingnya itu terbatuk-batuk pelan. Raza tahu kalau itu adalah sebagai bentuk ledekan. Adik tak tahu diuntungnya memang menyebalkan. Sepertinya, hanya sang ayah yang mengerti keadaannya dengan tetap tenang menyimak siaran di layar kaca sekaligus menikmati drama mamanya sore ini.

Adeeva memutar bola mata serta menatap putra sulungnya itu dengan malas. Putra sulungnya itu tak cukup cerdik untuk berkilah padanya. "Kalian ... oke, biar Mama perjelas maksudnya, Ola sama kamu pacaran, kan?"

Jika tadi adiknya hanya terbatuk-batuk pelan, kini anak laki-laki itu berdeham keras dengan sengaja membuat sang ayah menggeleng dengan kelakuan anak bungsunya itu.

"Mama tahu betul, ya, kalau kamu nggak pernah bawa cewek ke rumah selain pacar kamu. Ya maksudnya dalam artian seorang cewek, nggak berkelompok. Dulu mana pernah kamu bawa Ola ke rumah sendirian. Palingan bergerombolan bareng teman lain," lanjut Adeeva, menguatkan pendapatnya.

"Hm." Pada akhirnya, Raza pun mengiakan. Sebenarnya, dia sendiri sangat heran dengan mamanya yang super peka ini. Ingatan mamanya ini memang patut diacungi jempol.

Seperti apa yang dikatakan mamanya, semua itu memang benar. Dia tak pernah mengajak teman perempuannya main ke rumah, meskipun hanya sekadar berkunjung sebentar kecuali ada tugas kelompok. Ola waktu masih menjadi teman, benar-benar temannya, pun tak pernah main ke rumahnya sendirian.

"Udah ada kemajuan, ya, Bang?" bisik Putra. Remaja tanggung itu mengerling jahil. Raza tak akan ambil pusing untuk kali ini.

"Berisik, Bocah," balasnya tak ingin kalah, membuat adiknya itu pun merengut kesal, tak suka dipanggil bocah, meski pada nyatanya dia memang masih bocah alias anak-anak di bawah umur.

"Sejak kapan?"

"Apanya?" Alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang mama, Raza malah kembali bertanya balik. Sebenarnya, dia mengerti maksud mamanya. Hanya saja, rasanya agak canggung saat harus membicarakan hal ini secara terang-terangan. Mana di depan adik menyebalkannya yang juga bermulut rombeng.

"Kurang pekanya Papa nular sama kamu ternyata."

"Ma," tegur sang suami, membuat Adeeva pun terkekeh pelan. "Papa banget, kan, ya?"

"Mama ini. Udah, ah, Papa ke belakang dulu."

Sepeninggalan sang ayah, si bungsu terkekeh geli. Mamanya ini memang paling bisa menggoda papanya. Alhasil, papanya akan menghindar dan memilih untuk menjauh.

"Diem kamu. Dimarahin Papa baru tahu rasa," bisik Adeeva seraya cekikikan. Putra sontak membekap mulutnya seraya manggut-manggut.

Ya, keduanya memang sekompak itu. Raza yang melihatnya pun menggeleng heran sebelum akhirnya beranjak dari duduknya dan menyusul sang ayah yang sedang duduk di samping halaman rumah persis di area kolam renang. Ayahnya itu tampak fokus dengan iPad di atas pangkuannya.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now