BAB 48

14.6K 1.7K 859
                                    

Bab 48

Ola menguap di tempat duduknya. Baru satu mata kuliah yang sudah selesai, tetapi matanya ini sudah mengantuk bukan main. Kalau sudah seperti ini, pergi ke kantin adalah solusi yang tepat. Padahal tadinya, Ola ingin mencari buku di perpustakaan. Ah, menyinggung perpustakaan, Ola mendadak ingat kembali tentang pembicaraan teman-teman Raza kemarin.

Seulas senyum tersungging di bibir tipisnya. Inhale, exhale.

"It's okay, Ola. It's okay. Sadar posisi lo," gumamnya menguatkan diri, seraya membereskan isi tasnya sebelum akhirnya beranjak dari kursi.

"Kantin?" Salah satu teman sekelasnya bertanya, langsung Ola sambut dengan anggukan.

"Udah bosan mengurung diri terus di perpustakaan?"

Ola menggeleng, lalu tertawa pelan. Sepertinya teman-teman satu kelasnya sudah tahu betul mengenai kebiasaannya akhir-akhir ini. "Entahlah."

"Udahlah, jangan galau mulu. Laki-laki bukan cuma si Raza doang. Dia ganteng, sih, cuma kal—"

"Bukan soal Raza, sorry," potong Ola dengan cepat, tak suka dengan ucapan temannya yang terkesan menjelek-jelekan Raza. Padahal rekan satu kelasnya ini jelas tak mengetahui bagaimana hubungan mereka. Uh, bagian menyebalkannya pasti selalu di sini. Ketika orang-orang yang tak tahu apa-apa, tetapi berbicara seolah mereka tahu segalanya. Cih, sebal!

Apalagi, Ola sama sekali tak pernah membicarakan soal putus hubungannya dengan Raza, pada siapa pun. Mereka saja yang berspekulasi sendiri. Ola tak terlalu bodoh untuk bercerita pada sembarang orang meski dia tak punya teman sekalipun. Demi apa pun, kenapa perempuan ini mendadak sok akrab juga? Biasanya, mereka hanya akan berbicara jika sedang ada keperluan saja.

"Gue duluan," pungkas Ola, lalu berjalan dengan cepat. Rasanya amat malas untuk meladeni hal tak penting seperti itu. Entahlah, Ola masih belum bisa menaruh kepercayaannya lagi pada sembarang orang. Untuk terakhir kali, dia dikecewakan oleh Mbak Dila, teman baiknya sendiri. Rasanya lebih baik sendirian saja tanpa ada orang lain yang ikut campur dengan segala urusannya.

"Aduh!" Ola sontak menjerit dan mengangkat tangannya saat merasakan ada sesuatu yang panas mengenai punggung tangannya. Belum lagi, seseorang yang menubruk bahunya membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Sialannya, Ola sendiri bahkan tak sadar kalau dia sudah menerobos masuk ke kantin yang amat sesak ini. Hingga akhirnya, tangannya menjadi korban kopi panas.

"Eh, sorry, gue benaran nggak sengaja." Si penabrak itu langsung meminta maaf seraya sedikit membungkukan badannya. Namun, bukan sosok di depannya ini yang menjadi fokus Ola, melainkan sosok laki-laki lain yang memakai kaus abu-abu yang duduk tak jauh dari Ola berdiri, tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Mendengar laki-laki di depannya terus berbicara dan meminta maaf, pada akhirnya Ola lebih dulu mengalihkan perhatiannya. Meski rasanya, tatapan Raza masih tertuju padanya.

"Eh, iya, nggak apa-apa."

"Tangan lo merah. Duh, gue benaran nggak sengaja. Ke klinik mau? Biar diobati?"

Ola menggeleng dengan cepat. "Nggak usah. Benaran nggak usah, nanti juga sembuh kok," jawabnya, tak ingin membahas hal kecil ini lebih lanjut. Hingga pada akhirnya setelah Ola meyakinkan kalau dirinya tidak apa-apa, barulah laki-laki itu pergi.

"Ceroboh."

Ola sontak menoleh ke sisi kirinya saat mendengar gumaman itu. Rasanya amat dekat, tetapi Ola tak menemukan siapa pun di sampingnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin, lalu bibirnya sedikit tersungging ke atas saat melihat ke arah depan di mana Raza dan teman-temannya baru saja keluar. Di sisi lain, rasanya sangat aneh. Di saat orang yang biasanya menjadi penolongnya nomor satu, kini hanya menjadi penonton.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang