BAB 39

15.2K 1.6K 208
                                    

Bab 39

Ola yang baru turun dari tangga pun mengernyit heran saat melihat Bibi Mar terlihat sibuk, pun dengan dua tas berada di tangan kanan dan kirinya. Wanita paruh baya itu terlihat seperti akan bepergian. Namun, ke mana? Lagi pula, Bibi Mar tak berbicara padanya jika beliau akan pergi. Pulang kampung, misalnya. Mengingat Bibi Mar seperti membawa tas pakaian. Hanya saja ... terlihat bukan seperti milik ART-nya.

"Bi?"

"Astagfirullahaladzim, Gusti .... Nola bikin Bibi kaget aja."

Ola menatap Bibi Mar dengan tatapan geli. Padahal intonasinya biasa saja. Ola sama sekali tak berniat untuk mengejutkan sang bibi pula.

"Bibi mau ke mana, pagi-pagi begini udah bawa barang banyak kayak gitu?"

"Eh, anu, Non." Bibi Mar tampak salah tingkah, dan Ola tak mengerti kenapa asisten rumah tangganya itu harus bersikap demikian.

"Ayo, kita berangkat sek—eh, Non." Suara seseorang yang ternyata Pak Maman, supir sang ayah, mengalihkan perhatian Ola.

"Kalian mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya lagi, tak bisa menahan rasa penasarannya. Apalagi dengan kedatangan Pak Maman yang notabene sopir papanya, yang tentu saja selalu siap siaga berada di mana pun papanya berada. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, seharusnya Pak Man tengah mengantarkan papanya ke kantor.

"Lho, Non Ola belum tahu kalau Bapak masuk rum—eh, anu ...."

Ola semakin tak mengerti. Apalagi Pak Maman tiba-tiba saja menghentikan ucapannya sendiri. Sebenarnya, apa yang terjadi? Tadi ... apa katanya? Bapak? Yang berarti ayahnya, kan?

"Papa kenapa?" tanya Ola pada akhirnya. Perempuan itu memandang dua orang di depannya secara bergantian. Baik Bibi Mar maupun Pak Man pun tengah menunduk setelah keduanya saling berpandangan satu sama lain. Mereka terlihat serba salah.

"Bi? Papa kenapa?" Kini suara Ola sedikit bergetar. Sialannya, pikirannya ini sudah meluncur ke mana-mana. Pak Maman sempat mengatakan kata rum, apa itu maksudnya? Papanya baik-baik saja, kan?

"Nola ...."

"Papa di mana?" tanyanya penuh penekanan, dengan kedua matanya yang sudah memerah.

"Anu, Non, itu ... aduh, Bibi minta maaf karena nyembunyiin semua ini sama Non. Tapi, Bapak yang suruh supaya kami nggak beri tahu Nola. Anu, Non, itu ... Bapak masuk rumah sakit tiga hari yang lalu. Bap—"

"A-apa?!" seru Ola secara refleks, memotong penjelasan Bibi Mar yang juga tampak kaget karena seruannya.

"Papa masuk rumah sakit? Kenapa Papa masuk rumah sakit, Bi?" tanyanya tidak sabaran, bersamaan dengan air mata yang lolos membasahi pipinya.

Sementara itu, Bibi Mar menatapnya penuh ragu, sebelum akhirnya berkata, "Bapak itu ... Bapak kecelakaan, Non," jawabnya pelan. "Tapi Non nggak usah khawatir, keadaan Bapak sekarang sudah membaik," lanjutnya dengan nada yang penuh dengan keyakinan. Namun sama sekali tak berpengaruh bagi Ola.

"Papa dirawat di mana, Bi? Apa kalian juga mau ke sana? Aku ikut," pintanya, yang tentu saja langsung disetujui oleh keduanya.

Sepanjang perjalanan, Ola terdiam. Perasaannya jelas tak menentu. Berbagai pertanyaan berkeliaran di kepalanya. Terutama, kenapa papanya menyembunyikan semua ini darinya? Tanpa sadar, bulir air mata yang sedari ditahan pun membasahi kedua pipinya. Hatinya teramat sesak. Ola merasa benar-benar tak berguna menjadi seorang anak. Apalagi akhir-akhir ini dirinya terus saja berburuk sangka pada sang ayah karena ayahnya yang tidak pulang dan menemuinya, alih-alih mengkhawatirkannya.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now