BAB 34

16.5K 1.7K 309
                                    

Bab 34

Ola benar-benar tak mampu berkata apa-apa lagi sekarang. Tubuhnya terasa begitu lemas dengan rasa sesak yang tak kunjung lenyap di dadanya. Dia tak menyangka jika pada akhirnya seseorang yang amat dia sayangi itu mengkhianatinya. Meski mengenal sosok Mbak Dila belum lama ini, tetapi Ola tak bohong kalau dia benar-benar menyayangi perempuan itu. Bahkan Ola sudah menganggap Mbak Dila seperti saudaranya. Namun kini?

Lalu papanya, bagaimana bisa papanya berkhianat? Ah, rasanya sekarang Ola mengerti. Kenapa papanya pernah berkata untuk tidak menyalahkan Mama soal perceraian ini. Jadi, memang semua ini salahnya. Papa yang tadinya dianggap sebagai super hero dalam hidupnya, kini tak lebih dari orang yang dia benci. Ola membenci papanya yang sudah berkhianat dan menyebabkan mamanya pergi.

Dia menangis sepanjang jalan. Hal apa lagi yang akan terjadi ke depannya? Mengetahui perceraian mengenai orang tuanya saja sudah membuat Ola merasa gila. Namun seakan hal itu belum cukup untuk menyakitinya, kini dia mendapatkan sesuatu yang benar-benar tak bisa dia percaya. Membekap mulut untuk menghalau isak tangisnya, Ola menatap kaca jendela mobil yang dia tumpangi dengan perasaan tak menentu. Hujan di luaran sana seakan ikut mengerti kesakitannya.

Setelah membayar ongkos, Ola pun segera berlari menuju rumah. Sialnya, kenapa dia bisa melupakan sang ayah? Entah bagaimana itu terjadi, tetapi ayahnya sudah lebih dulu sampai di rumah dan menatapnya dengan mata yang memerah. Walau rasa benci tengah menguasai, rasa sayang itu tetap ada. Sebagaimana mereka menyakitinya, Ola tetap merindukan kedua orang tuanya. Tak bisakah mereka kembali bersama demi dirinya?

"Sayang ...."

Ola memalingkan wajah, dengan kedua tangan yang mengusap pipinya yang basah, Ola mencoba tersenyum. Hanya saja sepertinya dia tak sanggup karena ternyata rasa sesak ini lebih dalam daripada yang dia kira. Ola ingin memeluk papanya, tetapi dia tak bisa melakukan itu. Sebut saja dia anak durhaka karena mengabaikan beberapa panggilan sang ayah dan memilih untuk segera berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

"Ini nggak seperti apa yang kamu lihat, Nak."

Ola yang semula sedang menaiki tangga pun mendadak berhenti, membalikkan badan, dan menunggu hal konyol apa lagi yang akan dia dapat. Ini nggak seperti yang dia lihat? Dari mananya? Coba jelaskan pada Ola! Jelas-jelas, dia melihat semua itu dengan mata kepalanya sendiri. Lalu, kenapa Ola harus lebih memercayai sang ayah daripada apa yang dilihatnya?

Bisa Ola lihat kalau papanya itu sedikit menunduk, dengan satu tangan yang mengurut pangkal hidungnya. Kebiasaan kalau papanya tengah banyak pikiran. Biasanya, Ola selalu melihat itu saat sang ayah banyak pekerjaan.

"Lalu apa, Pa?" tanyanya dengan lirih. Dan lagi, air matanya kembali mengalir tanpa permisi. "Kenapa kalian ...." Ola membekap mulutnya, tak mampu menyelesaikan kalimatnya sendiri.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, ayahnya itu malah berjalan mendekat lalu memeluknya. Seketika, tangis Ola pun pecah tak tertahankan. Dia membenci sekaligus menyayangi sang ayah dalam waktu yang sama.

"Maafkan Papa ...."

"Ola benci Papa."

"Papa memang layak dibenci, maafkan Papa, Nak." Adinata ikut terisak. Melihat bagaimana kacau putrinya, tentu saja ikut menyakiti hatinya. Dia tetap seorang ayah yang menginginkan kebahagiaan untuk anaknya.

"Anggap aja kalau Ola nggak pernah tahu semua ini. Ola sayang Papa," bisiknya setelah beberapa menit keduanya terdiam dengan posisi ayahnya yang memeluknya, kemudian Ola menjauh.

Merasa tak rela pun rasanya tak berguna. Ola pikir, lebih baik dia merasa masa bodoh terhadap apa yang kedua orang tuanya lakukan, termasuk perselingkuhan yang dilakukan papanya dan Mbak Dila.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now