BAB 25

17.7K 1.8K 289
                                    

Bab 25

"Hey, Putri Papa, kenapa nangis?"

Ola yang masih terisak itu menoleh, menatap sang ayah yang sedang berjalan ke arahnya dengan tatapan khawatir. Ola menggeleng pelan, kemudian beranjak dari duduknya untuk memeluk tubuh papanya dengan erat. "Kangen, Pa, udah lama kita nggak ketemu."

Sang ayah terkekeh pelan. "Baru aja tiga hari. Lagian akhir-akhir ini, kata bibi kamu mengurung diri di kamar terus. Padahal seminggu belakang ini Mama sama Papa pulangnya nggak terlalu malam, lho, bahkan tadi pagi Papa berangkat kerja jam sembilan pagi. Niatnya mau nungguin Putri Papa bangun, cuma ternyata Putri Papa lebih senang mengurung diri dan nggak mau temui papanya."

Ola mengerucutkan bibirnya, merajuk. "Ih, Papa, nggak gitu," ucapnya kemudian melepas pelukannya pada sang ayah. "Mama mana, Pa? Nggak bareng?"

Sang ayah tersenyum, seraya mengelus puncak kepala putrinya. "Katanya Mama masih ada kerjaan, tapi pasti pulang, kok. Nanti Papa suruh Mama buat temui kamu kalau udah pulang, ya."

Ola mengangguk sedangkan Adinata menepuk-nepuk puncak kepala putri semata wayangnya, sebelum akhirnya dia merangkul Ola dan mengajaknya untuk duduk di sofa. Rasa lelahnya terbayar begitu dia bisa melepas rindu dengan putrinya. "Ada masalah, Sayang?"

"Maksud Papa?"

"Ya kamu. Kenapa sering mengurung diri di kamar? Ada masalah sama kuliah kamu? Putri Papa nggak lagi patah hati, kan? Kata Bibi, kamu persis kayak waktu putus sama Kavin."

Ola berdecak, mendengar papanya menyinggung-nyinggung soal Kavin dan kegalauannya dulu. "Papa ngaco! Mana ada Ola patah hati, orang nggak punya pacar."

"Lho, jadi Raza bukan pacar kamu?"

"Ha?!" Ola berteriak dengan refleks seraya menatap papanya dengan ekspresi horor. "Apa-apaan, sih, Papa ini! Kita cuma teman!"

Sang ayah tersenyum menanggapi. "Oke."

"Ih, apanya yang oke? Papa nyebelin, ih."

Adinata tertawa kecil, kemudian mengacak gemas rambut putrinya, membuat Ola memekik kesal.

"Ya udah, Papa mandi dulu, ya. Kamu udah makan, kan?"

Ola terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya cengar-cengir. "Belum," jawabnya yang dibalas pelototan oleh papanya. Namun bukannya merasa takut, Ola mallah cekikikan. "Nggak enak makan sendiri, Pa," jelasnya membuat sang ayah pun terdiam seribu bahasa. Perasaan bersalah karena sangat jarang memperhatikan putrinya muncul ke permukaan. Selama ini, dia memang selalu mengutamakan pekerjaan sampai-sampai melupakan kalau ada putrinya yang menunggunya pulang dan mengharapkan perhatiannya. Ya Tuhan, sebodoh itu dirinya sebagai ayah.

"Mau makan di luar, nggak?" tawar sang ayah tiba-tiba, membuat mata cokelat itu berbinar, sebelum akhirnya mengangguk dengan semangat. "Tapi, tempatnya Ola yang pilih, ya! Papa udah janji, lho."

Adinata mengangguk. "Siap. Kalau gitu, Papa mandi dulu, ya. Kamu juga siap-siap, gih."

"Oke, Bos!" jawab Ola penuh semangat, kemudian menaiki tangga menuju kamarnya.

Ayahnya memandang kepergian putrinya dengan senyum tipis. Kedua matanya itu berkaca-kaca, lalu dia bergumam, "Kamu sudah sebesar ini, Nak."

***

"Lah, tumben lo masih di sini?" tanya Fajar dengan keheranan saat melihat sahabatnya masih berada di studio.

Raza yang tengah tiduran di sofa pun hanya membuka matanya sekilas, sebelum akhirnya kembali memejamkan mata. Sebenarnya, dia cukup merasa bosan karena sudah berada di sini seharian—dari sore setelah kelasnya selesai hingga hari telah berganti malam seperti ini. Namun, dia pikir akan lebih membosankan lagi kalau diam di rumah. Apalagi jika harus mendengar ocehan adiknya yang menyebalkan, atau mendengar godaan mamanya tentang Ola.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now