BAB 1 :. Dimas

4.3K 212 14
                                    

Dimas beberapa kali menjepret burung kecil yang ada di pelataran gereja. Mungkin karena itu burung berbadan mungil dengan warna cokelat semu kehitaman itu dijuluki burung gereja.

Dimas kembali membidik. Matanya dia pejamkan sebelah seiring mendekat pada view finder. Jari telunjuknya menekan tombol shutter begitu merasa pas dengan pose si burung gereja.

Dimas menjauhkan matanya, menatap layar kamera kemudian tersenyum puas dengan hasil bidikannya.

Cowok itu segera merenggangkan otot tubuhnya setelah dua jam lamanya bergulat dengan burung gereja.

"Dim!" panggil salah seorang temannya.

Dimas menoleh mendapati Juna berjalan ke arahnya. "Nyerah gue motoin tawon," katanya sambil bersungut kesal.

Dimas terkekeh geli. Hal yang terjadi sebenarnya, mereka diberi tugas oleh kakak tingkat organisasi fotografi di kampus. Ini adalah salah satu syarat untuk masuk organisasi tersebut. Memang terlihat gampang, tapi mengambil sudut foto yang bagus perlu keterampilan juga.

"Terus lo gak dapet fotonya?"

Juna menyengir. "Gue dapet yang lebih seger dari tawon."

Alis Dimas sedikit terangkat, dia kemudian mendekat saat Juna menunjukkan sebuah foto yang diambil laki-laki itu. Dalam foto itu tampak seorang remaja perempuan memegang bunga mawar putih berjalan keluar dari gereja. Yang menarik dari foto itu adalah ekspresi yang ditunjukkan oleh perempuan itu. Tampak sedih dan penuh berharap.

"Lo mau tunjukin ini ke Bang Ebi?"

"Iye. Gimana menurut lo?"

Dimas menganggukan kepala. "Keren kok."

🐾

Dimas dan Juna kembali ke kampus sore harinya. Kedua laki-laki yang sudah dekat sejak OSPEK itu melangkahkan kakinya menuju gedung serba guna, tempat yang dijanjikan organisasi fotografi untuk mengadakan pertemuan sekaligus perekrutan anggota baru.

"Emang kata Bang Ebi tahun ini banyak yang daftar ya?" tanya Juna.

Dimas menatap cowok itu sejenak lalu mengedarkan pandangannya pada mahasiswa-mahasiswi yang berkerumun di depan pintu masuk gedung serba guna. "Kayaknya."

Dimas dan Juna bergabung, mengamati kenapa mereka tidak masuk saja. Rupanya gedung itu masih tertutup rapat. Dimas kemudian mengedarkan pandangannya ke arah lain. Memperhatikan beberapa orang yang rata-rata membawa kamera dengan tipe bermacam-macam. Matanya beralih dan tertarik pada kamera yang dibawa seorang perempuan. Kamera Nikon tipe D750. Kamera yang telah lama diidamkan oleh Dimas.

Matanya tidak bisa terputus pada kemera tersebut. Hatinya nelangsa ingin mencoba mengambil foto dengan kamera itu. Dimas beralih memperhatikan si pemilik, yang sudah pasti orang kaya karena harga kamera itu sekitar dua puluh jutaan belum lagi biaya perawatan dan lain-lain.

Jika, dilihat dari penampilan kasualnya mungkin Dimas tidak pernah menyangka kalau perempuan itu adalah pemilik kamera D750. Perempuan itu hanya mengenakan sepatu converse maroon, celana ripped jeans hitam dan hoodie putih yang sebenarnya kekecilan karena begitu dia mengangkat tangannya sudah pasti bagian perutnya akan terlihat.

Model apa namanya itu? Crop tee?

Sampai si pemilik berbalik ke arah dengan senyuman tipis membuat Dimas mengeryit dahi dan tersenyum geli. Dia mengenal pemilik kamera itu.

"Kenapa lo?" tanya Juna saat melihat Dimas mengulum senyumnya. Dimas hanya menggeleng dan mengatakan tidak ada apa-apa.

Pintu gedung serba guna akhirnya, dibuka. Semua yang menunggu di depan bergantian masuk ke dalam menempati tempat duduk yang sudah disediakan.

Bendera berwarna biru dongker bertulisakan 'Panorama' yang merupakan nama organisasi fotografi, sudah terpasang di depan podium bersandingan dengan bendera kampus dan Indonesia.

"Selamat Sore, kenalin gue Ebi, ketua Panorama," kata Ebi disambut tepuk tangan yang meriah.

"Sebelumnya waktu pendaftaran gue ngasih tugas ke kalian, kan? Tugas itu nantinya bakal jadi, pertimbangan buat masuk ke Panorama karena peserta tahun ini cukup banyak. Kita cuma ngambil lima belas orang buat anggota baru."

Ebi tersenyum saat mendapati gerutuan dari audience-nya. Benar saja itu hanya dua puluh persen dari peserta yang datang.

"Kita udah lihat hasil foto yang sudah kalian kirim lewat email. Dan sudah kita seleksi juga." Layar proyektor dinyalakan menampilkan lima belas foto yang sudah dipilih. "Bagi yang merasa foto hasil jepretannya ada di layar bisa tinggal, sementara yang lain mohon maaf mungkin lain kali kalian bisa gabung."

🐾

"Noriza Salshabilla," panggil Ebi.

Salsha tersenyum bangga, dia berjalan maju ke depan. Semua mata tertuju pada Salsha. Dua kata yang mampu untuk menggambarkan Salsha sore ini. Cantik dan Modis.

Salsha tersenyum saat Ebi mempersilahkan mengambil tempatnya. "Halo, nama gue Salsha. Jurusan teknologi pangan. Gue gabung ke sini karena gue baru tahu kalau fotografi itu menyenangkan."

Mendengar itu semua yang ada di dalam ruangan terkekeh geli.

"Dan itu foto yang gue ambil kemarin di kampus." Salsha menatap layar proyektor bangga. Foto itu menangkap foto kupu-kupu gajah berwarna hitam dengan corak kebiruan disayapnya. Yang menjadi daya tarik adalah bagaimana foto itu memperlihatkan detail tubuh si kupu-kupu ditengah-tengah kegiatannya menghisap nektar.

"Segini aja perkenalan gue." Salsha menatap deretan anggota Panorama. "Terima kasih juga udah izinin gue gabung di Panorama."

Begitu Salsha turun semua langsung bertepuk tangan, tidak sedikit yang berdecak kagum untuk Salsha.

Salsha kembali ke tempat duduknya dan menerima acungan jempol dari Mala. Dua orang itu beruntung bisa sama-sama masuk ke Panorama.

Ebi kembali ke podiumnya. "Foto selanjutnya punya Dimas Prayoga."

Deg.

Jantung Salsha seolah berhenti berdetak begitu mendengar nama sakral ditelinganya. Perempuan itu menoleh ke belakang mencari-cari laki-laki yang sudah mencuri ciuman pertamanya itu.

Lalu saat seorang laki-laki mengenakan hem flanel yang dibiarkan terbuka menampilkan kaos putih sebagai dalamannya itu berdiri dari bangku belakang, Salsha terkesima.

Tiba-tiba saja fotografi tidak lagi menyenangkan untuknya.

Tiba-tiba dia merasakan penyesalan yang dalam pada hatinya.

Sampai cowok itu naik ke podium mendekatkan mulutnya ke mic kemudian berkata, "halo gue Dimas."

Semua bertepuk tangan saat foto yang diambilnya ditayangkan pada layar proyektor. Foto yang menampilkan dua burung gereja sedang bercengkrama satu sama lain, foto itu tampak hidup. Ditambah background gereja membuat kesan tersirat tersendiri.

Dan yang lebih menarik adalah saat laki-laki di depan itu kembali berucap, "gue divonis menderita ataxia di parkiran kampus sekitar enam bulan lalu."

Salsha diam membeku bahkan saat Dimas menatap lurus ke arahnya bahkan saat laki-laki itu mengedipkan sebelah mata, menggoda emosi Salsha.

🐾

Hai?
Gak tahu lagi mood aja buat nulis ini setelah kemarin update About Aldo.

Selamat membaca. Tengkyuh 💋

About DimasWhere stories live. Discover now