BAB 19 :. Keinginan Dimas

793 91 4
                                    

Salsha duduk di balkon kamarnya sambil memandangi cincin pemberian Faros. Suara helaan napas berat beberapa kali terdengar mana kala Salsha membandingkan Dimas dengan Faros. Bagaimana sikap dua cowok itu padanya yang dinilai dari segi mana pun sangat bertolak belakang.

Suara decit pintu terdengar membuat Salsha menoleh ke belakang, menatap Gia yang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum lembut dengan dua cangkir yang Salsha duga berisi cokelat panas.

"Minum dulu gih," kata Gia sembari menyodorkan cangkir tersebut pada Salsha setelah duduk di sampingnya. "Biar anget."

Salsha menerima pemberian Gia sambil bergumam mengucap terima kasih. Dua perempuan itu kemudian sama-sama menyeruput cokelat panas masing-masing.

"Gimana-gimana?" tanya Gia membuka sesi konsultasinya.

Salsha terkekeh. "Ya ... gak gimana-gimana," katanya sambil menggedikkan bahunya.

Gia mencibir, tapi dia tidak menyerah untuk tahu isi pikiran Salsha, syukur-syukur jika dia bisa memberikan pencerahat bagi sahabatnya itu. "Lo nerima Faros kan?" tanya Gia setelah melihat cincin yang disematkan di jari Salsha.

Salsha mengangguk. "Gue ragu sebenenya, tapi ..." Salsha menunduk menatap cincin di jari manisnya. "Gue gak pengin buang kesempatan buat bareng sama Faros."

"Meskipun faktanya Faros kayak gitu?" tanya Gia membuat Salsha menoleh padanya. "Maksudnya, dia tega jadiin lo selingkuhannya, dulu."

Salsha menaik-turunkan bahunya. "Itu yang bikin gue ragu. Fakta kalau dia pernah bohongin gue." Dia menundukkan kembali pandangannya. "Gak ada jaminan dia bakal jujur ke gue, dalam hal apapun."

Gia mengangguk mengerti. Memang tidak semua orang gampang berubah. Gia mengalihkan pandangannya menatap satu bintang yang tampil sendirian di langit. "Terus Dimas?"

Kali ini Salsha langsung mengehela napas berat. Sebelum sampai kos tadi, Gia memberi tahu apa yang dia dengar saat Dimas bicara dengan Juna di tangga. Bukan karena Gia tidak bisa jaga rahasia, tapi Salsha harus tahu faktanya agar tidak salah memilih.

"Kayaknya itu cowok keseringan sama gue," jawab Salsha membuat Gia menatapnya dengan dahi berkerut.

Salsha balas menatap Gia. "Dia cuma baper kali gara-gara bareng gue mulu, ntar juga bakal lupa kalau udah sibuk masing-masing."

Mendengar itu Gia hanya menyengir kemudian menyeruput cokelat hangatnya. Entah mengapa Gia merasa tidak suka Salsha menganggap enteng perasaan Dimas.

***

"HAH?"

Dimas mengorek telinga kanannya dengan jari telunjuk sambil menatap Gia aneh. "Lo bilang apa tadi?"

Gia mendengus. "Gak usah pura-pura budek deh!" Dia kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi sambil melipat tangan. "Lo buruan tembak Salsha, deh Dim soalnya-"

"Bentar-bentar," potong Dimas. "Lo kira gue lagi main PUBG ada musuh langsung tembak?" Cowok itu mendengus keras kemudian berdecak. "Salsha udah punya cowok Gi, lo tahu kan? Siapa namanya? Rosi?"

"Faros," koreksi Gia.

"Nah, iya itu."

"Emang kenapa kalau Salsha punya cowok?"

Mata Dima membulat mendengarnya kemudian mengernyitkan dahi dengan alis kanan yang sedikit terangkat. "Bukannya cewek paling gak suka ya kalau ditikung? Lo beda partai atau gimana?"

"Ya gak gitu." Gia meluruskan kakinya menyandarkan pada besi kursi di depannya. "Selama janur kuning belum melungkung kan, gak masalah."

Dimas menggeleng. Bukan itu pokok permasalahannya sekarang. Masalahnya adalah kenapa Gia begitu getol menginginkan Dimas menjadi pacar Salsha, padahal dulu Gia seolah tidak merestui hubungan mereka. "Lo kenapa sih? Ada masalah sama Faros?"

Gia diam sejenak. "Bukan gitu."

"Terus?"

"Gue cuma lebih ngerasa Salsha jauh lebih aman sama lo dari pada sama Faros."

Dimas menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia tahu sedikit alasan Salsha dan Faros putus. Memang rumit karena Faros tidak sekedar menyelingkuhi pacarnya, tapi menyelingkuhi tunanganya saat itu. Cowok itu kemudian memilih menggedikkan bahunya sambil berkata, "lo mending dukung Salsha, dari pada ngeribetin gue harus nembak dia atau enggak."

Setelah itu Dimas berdiri dari kursinya membuat Gia mendongak seraya bertanya, "mau kemana lo?"

"Cabut."

"Dih, bentar lagi masuk."

"Titip absen ye?" katanya kemudian beranjak meninggalkan Gia yang memasang wajah sebal.

***

Dimas masuk ke dalam basecamp panorama disambut tatapan tanya dari Ebi ketika cowok itu tahu-tahu tidur terlentang di karpet biru yang membentang menutupi semua ruangan basecamp. "Gak kuliah? Cabut pasti," kata Ebi menjawab pertanyaannya sendiri.

"Yo'i, males gue. Paling anak-anak disuruh presentasi.

"Oh," jawab Ebi kemudian kembali berkutat pada laptopnya.

Dimas kembali memikirkan ucapan Gia, padahal malam sebelumnya cowok itu sudah tidak ingin ambil pusing masalah ini, toh Salsha juga sudah pasti memilih Faros. Tapi hanya karena dorongan dari sahabat Salsha entah mengapa Dimas seperti harus melakukan itu. Mengungkapkan perasaannya.

"Ck!"

Mata Ebi refleks melihat Dimas. "Ada masalah lo ya?"

Dimas menatap Ebi sejenak kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada langit-langit basecamp. "Jurusan perdukunan lo ya?"

Ebi menghiraukan pertanyaan asal Dimas. "Masalah apa? Cewek? Salsha?"

Kali ini Dimas langsung mengubah posisinya menjadi duduk bersila. "Serius? Lo dukun ya? Atau peramal?"

Ebi mendengus. "Terserah," katanya membuat Dimas tertawa geli.

"Jadi beneran Salsha?" tanya Ebi lagi kali ini langsung membungkam tawa Dimas. Dia kemudian tersenyum mengejek lalu kembali menatap layar laptopnya. "Kenapa emang Salsha-nya, sini curhat sama kakak."

"Najis," gumam Dimas lalu kembali berbaring.

Ebi terkekeh. "Cewek aja diribetin Dim."

"Yah ... namanya juga hidup."

"Makanya itu dinikmatin bukan diribetin."

"Gue menikmati keribetan gue kok, siapa bilang gue ngeribetin keribetan gue, ya gak?"

Ebi menggeleng. Menyerah bicara dengan Dimas sampai seorang perempuan menongolkan kepalanya di pintu basecamp membuat rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepala perempuan itu. "Kak Ebi?"

"Eh, Lan," sahut Ebi kemudian berdiri menghampiri Alana.

Dimas menatap dua orang yang tengah berbicara di ambang pintu itu. Dia menatap Alana yang beberapa kali mencuri pandang padanya dan tentu saja langsung kepergok Dimas karena dia memang sengaja memperhatikan Alana. Perempuan yang ngotot mewawancarainya beberapa hari yang lalu.

Tiba-tiba satu ide gila terbersit dibenak Dimas. Cowok itu segera menggeleng pelan dan justru menyalahkan Gia karena mendorong secuil keinginan Dimas. Namun saat Alana tersenyum padanya dan dibalas Dimas dengan kernyitan didahi, entah mengapa Dimas makin menginginkan niat buruknya terlaksana.

To be continue...

About DimasWhere stories live. Discover now