BAB 41 :. Bioskop

601 76 3
                                    

Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di delan loket pembayarat tiket bioskop dengan kepala sedikit mendongak ke atas untuk melihat film apa yang akan ditonton. "Ini elo kan, Dim, yang bayarin?"

"Iye ..." Dimas melirik Juna sebal.

Iya, Juna juga ikut mereka bertiga. Tidak tahu datang dari mana, tahu-tahu sudah ada di belakang ketiganya saat menuju parkiran kampus. Alibinya sudah membuntuti Dimas sejak datang bersama Salsha.

"Popcorn juga dong?"

Dimas menatap Juna malas dan semakin kesal ketika suara perempuan ikut menyela. "Sama cola dong, biar lengkap sampai nikah."

"Apaan sih, Mal." Salsha mencubit kecil lengan temannya itu.

Dimas bukannya pelit, dia hanya kesal karena Salsha tidak memilih dia sepenuhnya. Kenapa juga ada dua orang yang iku di kencan pertama mereka?

"Marah ya?" goda Salsha pada laki-laki berwajah datar yang sedang menunggu popcorn dan cola pesanannya. "Dim?"

"Ya lo pikir?" Dimas mengalihkan perhatiannya pada pegawai yang terkejut ketika dia menyodorkan pesanan Dimas.

"Silahkan, Kak."

"Makasih."

Salsha membantu Dimas membawakan popcorn. Mereka berjalan beriringan menuju kursi yang disediakan di depan ruang theater. Setelah memberikan popcorn dan cola pada Juna dan Mala. Mereka mengambil tempat dibangku lain karena bangku yang ditempati dua temannya itu sudah terisi oleh orang lain.

"Dim? Dianggurin banget nih, gue?"

"Gak akan kalau lo mau jalan sama gue aja," tekannya lalu menyedot cola setelah berdecak keras.

"Yaudah sih. Sekali-kali double date, kan, gak masalah."

"Sejak kapan mereka jadian?"

"Anggep aja gitu."

Dimas mendengus. Dia mungkin kekanakan, tapi laki-laki itu sudah menyusun skernario cantik untuk kencan pertamanya dengan Salsha. Itulah yang membuat Dimas sebal.

"Dim, elo, mah." Salsha memanyunkan bibirnya. Wajahnya berubah menjadi masam. "Kapan-kapan kan, bisa kita jalan berdua. Lagian udah sering."

"Kapan? Clubbing bareng, iya."

"Waktu survei itu ..."

"Survei ya survei, ngedate ya ngedate."

"Nanti kita atur lagi, deh. Kalau perlu seharian kita keluar bareng. Gue gak bakal ajak-ajak Mala lagi." Salsha mengangkat dua jarinya tanda dia berjanji akan mengabulkan keinginan Dimas. "Sumpah."

Dimas hanya menganggukkan kepala pelan. Meski awalnya sebal, lama kelamaan laki-laki itu pun mulai terbawa suasana dengan cerita masa kecil Salsha hingga masa-masa SMA-nya. "Emang waktu dipukul pakai helm sama Kak Bima nggak sakit ya?"

"Ya sakitlah."

"Tapi, lo tuh langsung pulang aja gitu, Dim. Gak ke rumah sakit dulu atau gimana gitu."

"Waktu itu juga udah diobatin sama Gia." Dimas mengembuskan napas berat. Jika diingat masa-masa remajanya benar-benar kelam. "Lagian gak ada jaminan kalau Bima gak bakal ngamuk lagi."

Salsha mengangguk membenarkan. Memang saat itu, Bima terkenal tidak bisa mengontrol emosi. Laki-laki yang dijadikan pentolan SMA Gharda pada masanya dan lucunya kini terjerat hubungan pelik dengan sahabatnya sendiri, Ifa.

"Lo sendiri gimana?"

Salsha menatap Dimas dengan kening berkerut. "Gimana apanya?"

"Sama siapa tuh, abangnya Gia." Dimas mengernyit berusaha mengingat. "Reno! Iya kan, Reno?"

"Kok lo bisa tau sih?"

"Apa coba yang gak gue tau," katanya dengan bangga.

"Dih!" Salsha terkekeh geli. Perempuan itu mengaitkan kaki kanannya ke kaki kirinya kemudian mengayunkan perlahan. "Udah lama banget, sih. Gak tau deh, kenapa gue bisa sebegitu sukanya sama Bang Reno. Sampai waktu dia tunangan aja gue galaunya setengah mampus."

Dimas tersenyum melihat mata Salsha yang terlihat menyesali masa lalunya.

"Harusnya dulu gue tembak aja dia!" serunya diiringi nada kesal. "Biar gak ada tekanan batin gitu lho, Dim."

"Terus gue?"

"Ya ... gue tetep sama elo."

"Enggak-enggak." Dimas menolak jawaban Salsha. "Nih, ya kalau misalnya lo nembak dan lo jadian sama abangnya Gia itu. Lo gak bakal jadi sama gue lah, Cici!"

Salsha tertawa mendengar panggilan Dimas untuknya. "Gini lho, Kang. Bang Reno itu cuma nganggep gue bocah dan selamanya akan kayak gitu. Lagian ... buat apasih pacaran sama temen adik sendiri."

"Ya gak gitu dong, Sal ..."

"Duh, udah. Orangnya juga udah nikah, kok. Udah gak ada harapan buat gue sama dia lagi. Oke? Guenya juga sama elo gini sih, Dim."

Mendapat omelan tersebut membuat Dimas tidak mau kalah. "For your information ya, Salsha. Situ duluan yang bahas. Kenapa jadi gue yang dimarahin?"

"Kan, gu-"

"Bisa gak? Udahan berantemnya?" Mala tiba-tiba saja sudah berdiri tidak jauh dari tempat mereka duduk dengan wajah datar. "Dilihatin orang banyak tau!"

Pasangan kekasih itu menatap sekitar dan benar saja ucapan Mala. Keduanya kini menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata yang menatap mereka penasaran.

"Ck! Mereka ngeliatin karena gue ganteng. Gak usah sok tau lo," celetuk Dimas kemudian berjalan masuk ke ruang theater yang baru saja dibuka.

***

Juna dan Mala benar-benar mengacaukan segalanya. Mereka bahkan tega memisahkan tempat duduk Salsha dengan Dimas. Empat orang itu memilih film horor, harusnya ini menjadi kesempatan bagi Dimas untuk bisa berdekatan dengan Salsha. Menciptakan moment tersendiri seperti drama korea yang selalu Salsha ceritakan.

"Hari minggu deh, kita nonton lagi."

"Hmm."

"Yaelah Dim, masa ngambek lagi, sih?"

Dimas menatap Juna dan Mala yang berbelok ke timezone. Laki-laki itu pun akhirnya bisa mendapatkan ruang untuk mengutarakan isi hatinya. "Saran aja ya, kalau emang pengin double date. Coba deh, cari yang bener-bener pacaran. Jangan kayak dua kunyuk itu!"

Salsha mengulum senyumnya. Jujur saja, dia juga kesal karena harus berpisah kursi dengan Dimas. Tapi, perempuan itu bersyukur berkat ide Mala dia bisa melihat sisi menggemaskan versi Dimas.

"Oke, gue lagi kesel dan lo senyum-senyum kayak orang gila. Lo sehat kan?"

Salsha menampis tangan Dimas yang berada di dahinya. "Sehat! Gue bahkan sadar seratus persen kalau punya cowok segemes ini."

"Siapa?" Dimas menunjuk dirinya sendiri. "Gue?"

"Terserah, deh. Capek banget ngomong sama lo," katanya kemudian melenggang pergi.

Dimas terkekeh. Laki-laki itu berjalan cepat lalu meraih tangan Salsha dan menggenggamnya erat. "Gak usah gantian dong, marahnya."

"Gak adil kalau gak gantian."

Keduanya sama-sama terkekeh geli. Mereka pun berjalan menyusul Mala dan Juna, tapi baru saja mereka akan menginjakkan kaki di timezone, seorang laki-laki menghadang mereka.

Salsha mengerjap. Menatap laki-laki itu dengan kening berkerut lalu berkata, "permisi, Mas."

Dia sudah berjalan dua langkah, tapi langkahnya terhenti karena Dimas tetap diam di tempat. "Dim?"

Laki-laki itu menurunkan pandangan ke tangan Salsha dan Dimas yang masih bergandengan. Dia tersenyum miring.

"Ck! Udah gue duga ..." Matanya menatap Dimas tajam. "Lo sama Alana cuma pura-pura."

***

Hehe ... maap yah lama :")

About DimasWhere stories live. Discover now