BAB 47 :. About Dimas

1.1K 95 17
                                    

"Salsha hamil."

Kalimat Dimas yang berhasil menusuk Aji sekaligus semua saksi mata atas kegilaan anak laki-lakinya itu. Akibatnya, Aji harus menanggung malu. Dia yang tidak pernah minta maaf bahkan detik itu juga minta maaf dan memohon pada keluarga Alana untuk meninggalkan rumahnya.

Kini Salsha dan Dimas duduk di sofa ruangan kerja Aji dengan tespack di atas meja. "Ayo, kenapa diam aja?" tanya Aji sambil menatap keduanya. "Katanya Salsha hamil, harusnya gak keberatan dong kalau Papa minta bukti."

Salsha tidak tahu seberapa gila dua laki-laki ini. Perempuan itu hanya bisa menatap dingin testpack yang tergeletak di atas meja. "O-om saya ..."

"Salsha gak hamil," sela Dimas.

Aji langsung mengembuskan napas lega. Laki-laki itu bersandar di sofa sambil menutup wajahnya. "Astaga Dimas ..."

"Ya maaf."

Aji menatap laki-laki itu kesal. "Apa Papa kelihatan main-main sama kamu?"

"Enggak."

"Bagus! Kalau gitu, kamu harus tahu seberapa seriusnya Papa buat nikahin kamu sama keluarga berada, sederajat sama kita." Aji mengalihkan pandangannya pada Salsha. "Sal, Om bakal terima kalau kamu berasal dari keluarga-"

"Aku serius bakal buat Salsha hamil kalau Papa tetap bahas hal ini," ancam Dimas langsung menerima pelototan dari Salsha dan Aji. "Apa aku kelihatan main-main?"

"Jangan ngaco," bisik Salsha.

Dimas hanya mengerling padanya membuat perempuan itu berdecak pelan dan berjanji tidak akan pernah lagi menuruti ide Dimas tanpa tahu apa ide tersebut.

Aji menyatukan tangannya, menatap dua remaja itu dalam diam sebelum dia berkata, "oke, kayaknya Papa gak bisa kasih perusahaan ke kamu."

"Gak masalah."

"Dengerin dulu," tekan Aji membuat Dimas menggedikkan bahu. "Papa menyerah sama kamu, Papa akui itu dan itu semua kesalahan Papa sama almarhumah Mama yang gak kasih perhatian lebih ke kamu."

Dimas tersenyum lemah. "Gak usah bawa-bawa Mama dan ..." Laki-laki itu menggeleng heran. "Ini bukan Papa banget, pakai segala bawa masa lalu."

"Bukan gitu, Papa cuma-"

"Keputusan aku gak akan berubah, Pa."

"Iya, Papa tahu itu. Papa cuma mau mengakui kesalahan aja." Aji menghela napas berat, laki-laki itu kemudian berdiri lalu berkata, "tapi kalau kamu putus sama Salsha, kamu gak boleh nolak sama calon yang Papa kasih nanti."

"Gak akan, tenang aja," jawab Dimas cepat.

"Semua orang bakal berubah, Dim. Kamu ... Papa, Mama, juga Salsha." Aji menatap Dimas sungguh-sungguh. "Papa bukan nyumpahin, tapi Papa mau kamu tahu kalau Papa punya banyak pilihan yang baik untuk kamu."

Dimas terdiam mendengar hal itu. Aji menepuk bahu Dimas sekali sebelum keluar dari ruang kerjanya.

***

Dimas menatap Salsha dari bawah. Laki-laki itu tengah berbaring di pangkuan kekasihnya yang sudah dua jam diam seribu bahasa. "Kalau lo berencana ninggalin gue gara-gara omongan bokap gue, gue bakal-"

"Enggak, Dim."

Dimas menghela napas berat, laki-laki itu menautkan tangannya ke tangan Salsha. "Otak gue gak bisa mikir hal lain selain itu, Sal."

"Iya, gue tau kok." Perempuan itu tersenyum tipis. "Besok-besok gue harus tahu ide lo dulu."

Yang laki-laki terkekeh geli kemudian mencium punggung tangan Salsha berkali-kali, tapi hal manis yang dilakukan Dimas seharusnya membuat perempuan itu tersipu justru sebaliknya. Raut wajah Salsha menunjukkan bagaimana gelisahnya perempuan itu saat ini.

"Sal?"

Air mata Salsha akhirnya lolos begitu saja. Dimas langsung panik dan bangun dari pangkuan Salsha, menatap kekasihnya itu khawatir. "Kenapa? Gue salah ya?" tanyanya dengan nada lembut sambil mengusap bahu Salsha.

Salsha menggeleng, berusaha menghapus air matanya, tapi air mata itu tidak juga berhenti bahkan saat dia merasakan Dimas dengan lembut berusaha menenangkannya. Perempuan itu semakin takut.

"Oke, oke. Lo tenang dulu, gue ambilin minum."

Begitu Dimas beranjak, Salsha segera mengangkat kakinya ke sofa dan menelengkupkan wajahnya di antara lututnya. Menangis sesenggukan mengeluarkan rasa sesak yang sedari tadi dia tahan.

Bagaimana kalau semua ucapan Aji benar?

Bahwa semua orang pada akhirnya akan berubah.

***

Saat Dimas kembali dan melihat Salsha yang masih terisak, laki-laki itu tidak bisa menahan diri untuk memeluk Salsha. "Gue salah ya, Sal?"

Salsha menggeleng, perempuan itu melepaskan pelukan di lututnya dan beringsut masuk ke dalam pelukan Dimas. "Gue takut," lirihnya.

"Takut apa?"

"Kalau gue ... g-gue berubah."

Dimas mengernyit sebelum dia menghela napas panjang. Dia tahu benar ini adalah akibat dari ucapan Aji, ayahnya itu memang benar-benar pandai untuk menyerang seseorang. "Gak usah dipikirin Sal, gue yakin-"

"Atau elo yang nanti berubah."

Seketika Dimas menguraikan pelukannya menatap perempuan bermata sembab itu dan mencari kesungguhan di kalimat Salsha sebelumnya. "Maksudnya apa?"

Salsha menggeleng. "Semua orang bakal berubah, Dim, entah gue atau elo." Dia menelan ludahnya susah payah. "Elo yang bakal nyesel karena udah berbuat banyak malam ini karena gue yang berubah atau ..."

"Sal. Gue bahkan gak mau terlibat sama perusahaannya Papa. Lo ngerti nggak sih?" Dimas mengacak rambutnya frustrasi. "Meskipun ini bukan rencana bagus, tapi ... apa lo gak bisa lihat resikonya sebesar apa?"

"Dim-"

"Gue pilih elo karena gue mau sama elo, Sal. Berhenti bikin alasan konyol yang memperparah situasi. Apa yang diucapin Papa aku itu emang bener." Dimas menatap Salsha lekat. "Siapa sih, Sal yang gak berubah? Kita bahkan berubah. Lo yang dulunya benci banget sama gue juga berubah kan?"

Salsha menundukkan kepalanya membuat emosi laki-laki itu semakin meninggi. Dimas meraih dagu Salsha dan mengangkatnya untuk kembali menatap mata Dimas. "Gue juga. Gue bahkan gak pernah kepikiran bakal sesuka ini sama lo."

"Gue bahkan gak pernah tahu kalau gue bisa ngelawan bokap gue demi elo." Dimas melepaskan tangannya, laki-laki itu kembali melunak ketika melihat air mata Salsha kembali menggenang. "Gak ada yang tahu Sal. Gue cuma memperjuangin apa yang ada di depan mata gue sekarang, apa yang menurut gue sangat berarti buat hidup gue."

"Dim." Salsha meneteskan air matanya.

"Dan sekarang lo nangis." Dimas mengalihkan pandangannya, memijat kepalanya yang mulai berdenyut pusing.

Salsha mengusap air matanya. Bernapas panjang berkali-kali untuk menenangkan detak jantung dan hatinya. Salsha menjulurkan tangannya ke wajah Dimas, menuntunnya perlahan untuk menatapnya. "Maaf."

"Gak perlu."

Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat sebelum Salsha mencondongkan badannya dan mencium bibir Dimas lembut. Saat Dimas membalas ciumannya, Salsha menarik badannya. "Tapi, itu perlu kan?"

Dimas terkekeh geli kemudian meraih pinggang Salsha lalu kembali mencium perempuan itu dengan penuh perasaan.

Benar, perjalanan masih sangat panjang. Masih banyak rintangan yang harus mereka lalui, masih banyak moment manis yang harus mereka ciptakan, dan masih banyak hal untuk mereka pelajari satu sama lain.

Kini Salsha sadar, dia bahkan belum tahu semua tentang Dimas dan bagi Salsha akan menyenangkan untuk mengetahui lebih banyak tentang laki-laki yang tengah ia peluk erat sekarang.

"I love you, Sal."

Salsha mengeratkan pelukannya. "I love you, Dim."

-Tamat-

Terima kasih sudah membaca About Dimas ❤

About DimasWhere stories live. Discover now