-4-

1.5K 216 15
                                    

Sekeras apapun aku mencoba menghindari sebuah masalah, tapi pada akhirnya kami akan selalu bertemu kembali, dan menjadi semakin akrab satu sama lain. Aku selalu gagal saat akan memulai sebuah ikatan pertemanan dengan orang-orang di sekitarku. Mereka menolak karena alasan yang selalu sama, mereka takut terlibat dalam permasalahan yang aku miliki.

Sebenarnya aku tidak bisa mengelak untuk alasan tersebut, aku pun akan melakukan hal yang sama jika aku jadi mereka. Pasti akan sangat repot jika kita memiliki teman yang hanya akan menimbulkan masalah saja, hanya membuang-buang waktu saja.

Pemikiran seperi itu sudah tertanam kuat di kepalaku selama bertahun-tahun. Meskipun Pak Iman selalu berusaha membujuku untuk memulai membuka diri lagi terhadap orang lain, atau hanya sekedar beramah-tamah, tapi tetap saja aku tidak bisa melalukan itu. Mungkin lebih tepatnya aku hanya tidak ingin, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang aku pikirkan jika aku memulai membuka diri terhadap orang lain.

Tidak ada yang akan menghiburku jika nanti aku bersedih karena nilaiku yang buruk, tidak akan ada yang melindungiku saat aku tidak sengaja membuat masalah dengan preman-preman sekolah. Tidak ada yang akan berlari sembari memegang tanganku saat lampu penyebrangan jalan sudah berkedip-kedip. Tidak ada yang akan menemaniku menunggu bus di halte, ataupun membantuku membawakan minuman saat tanganku penuh memegang nampan makan siang ku. Tidak akan ada.

Meskipun terdengar sangat menyedihkan, tapi keadaan seperti itu jauh lebih baik untuku. Aku lebih baik menikmati sepi daripada harus menyakiti orang-orang disekitarku, mereka akan baik-baik saja, mereka tetap bisa tertawa. Aku akan merasa lebih baik meskipun tidak pernah mendengar kata 'kita', aku lebih merasa lebih baik jika itu hanya ada 'aku' dan "mereka". Karna tidak akan ada yang tersakiti nantinya.

Ini adalah ke egoisanku yang sangat parah tapi tetap aku pertahankan, ini adalah ego yang tidak akan pernah aku hilangkan, karna lebih mudah jika aku tidak memulai sama sekali, dari pada harus memperbaiki.

Aku lebih suka seperti ini, atau mungkin aku memang harus seperti ini.

*******

Ternyata rapat komite sekolah tidak berlangsung lama, kami harus kembali masuk kelas di jam pelajaran ketiga. Padahal aku sudah sangat berharap bahwa hari ini saja aku memiliki hari yang tenang, tanpa harus berinteraksi dengan siapapun, aku tidak membenci mereka separah itu, hanya belum ingin saja.

Sebuah ritual klasik yang menurutku tidak penting namun entah kenapa masih dilakukan sampai saat ini, dimana setiap murid baru harus memperkenalkan diri nya di depan kelas. Mereka tidak perlu mengenalku, karna akupun tidak ingin mengenal mereka. Tapi tetap saja harus aku lakukan karena wali kelasku sudah menyuruhku berkali-kali.

"Felix Lee, terimakasih" aku mengucapkannya tanpa membungkuk ataupun sekedar menebar senyum pada calon teman sekelasku.

Bisa ku dengar anak-anak yang mulai membicarakanku, entah itu sombong, atau tentang aku yang nampaknya tidak tau etika. Biarkan saja, itu tidak mengangguku sma sekali.

Beruntungnya hanya ada sisa satu bangku kosong di barisan paling belakang, ini melegakan karna aku tidak harus berbagi meja dengan orang lain.

Setidaknya hari ini tidak terlalu buruk, setidaknya itu yang aku pikirkan sebelum murid yang duduk persis di depanku tiba-tiba menolehkan kepalanya kebelakang.

"Kakak jahat ngapain masuk kelas aku?!"

"Kakak kan tua, harusnya sekelas sama kak Changbin atau yang lain."

Anak itu bertanya dengan alis yang ditautkan, entah karena kesal atau memang hanya merasa bingung. Aku memang harus mengulang dari tingkat pertama, sistem yang terlalu berbeda membuatku harus berada di tingkat satu. Tapi entah kenapa aku malah merasa senang, mungkin karena aku tidakharus berada di kelas yang sama dengan Seungmin. Tapi aku harus berakhir dikelas yang sama dengan bocah berisik ini.

Désolé - Changlix -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang