-6-

1.3K 235 21
                                    


Aku berjalan santai dengan earphones di telingaku, aku tidak memutar lagu apapun, ini hanya kebiasaan, salah satu caraku untuk menhindari obrolan dengan orang lain. Aku sudah melakukan ini selama bertahun-tahun dan aku rasa ini cukup efektif.

Langit sudah mulai menjingga saat aku sampai di rumah, Seungmin mungkin sudah pulang lebih awal, karena aku bisa melihat mobil Changbin yang terparkir rapih di halaman rumahku. Aku tidak ingin mengingat-ingat lagi kejadian yang baru saja terjadi tadi siang diantara aku dan Changbin. Untuk saat ini aku hanya akan mengangggap bahwa tadi hanya sebatas pelampiasan kemarahannya saja, dan mungkin tidak se serius yang aku bayangkan.

Begitu membuka pintu rumah, aku bisa melihat Seungmin dan Changbin sedang menonton film bersama di ruang keluarga, begitu pula dengan ayah dan ibuku yang ternyata pulang cepat hari ini. Mereka terlihat bahagia, sangat kontras dengan apa yang aku rasakan sekarang.

"Aku pulang." Sekedar basa-basi karna aku masih menghargai kehadiran mereka yang membuatku bisa hidup sampai saat ini, meskipun bukan kehidupan yang benar-benar aku harapkan. Tapi bukankah ini sudah sangat cukup? Aku akan menjadi manusia yang paling tidak tahu diri jika masih saja mengharapkan yang lebih dari ini.

Aku kira tidak akan ada respon apapun dari mereka, tapi tiba tiba ibuku berdiri dan menarik tanganku untuk mengikutinya ke lantai dua.

Aku sempatkan meoleh kepada mereka yang tersisa disana, Ayah sama sekali tidak perduli dan lebih memilih melanjutkan kegiatanya membaca koran saat itu, Seungmin yang sedang tersenyum ke arahku, bukan senyum yang seperti seharusnya. Tapi setelah aku melihat dia tersenyum, aku sadar setelah ini akan terjadi hal buruk padaku.

Dan Changbin yang hanya menoleh padaku sebentar dengan tatapan yang tidak memiliki emosi apapun, apapula yang aku harapkan dari seorang Seo Changbin ini, menolongku? Membelaku? Yang benar saja, bukannya tadi siang kami baru saja mengibarkan bendera perang.

*******

"Ini baru hari pertama kau bersekolah, dan kau sudah membuat masalah? Yang benar saja Felix." Itu adalah kalimat pertama yang menyambutku sore ini.

Biasanya seorang ibu akan menanyakan hal-hal seperti apa saja kegiatanmu hari ini disekolah, menu makan siang di kantin enak atau tidak, apakah ada yang mengganggumu atau tidak di sekolah, yaa wajarnya seperti itu. Tapi itu tidak berlaku untuku.

"Felix ngga ngerasa bikin ulah hari ini mah, Felix berani sumpah." Aku sebisa mungkin membela diriku sendiri, karna memang aku tidak merasa membuat masalah apapun hari ini.

"Kau masih belum sadar apa salahmu? Kau membuat anakku kesal hari ini Felix. Kami membiarkan kau bersekolah di sekolah yang sama dengan Seungmin bukan berarti kau berhak bergaul dengan teman-teman anaku."

Ternyata itu alasannya, sebenarnya aku bukan sekali dimarahi seperti ini, bukan berarti tidak menyakitkan sama sekali untuku, tapi setidaknya aku mulai membiasakan diri dengan kata-kata seperti itu. Yang aku pikir akan lebih sering aku dengar setelah ini.

Tapi ada satu kata yang cukup menggelitik hatiku, "Anakku". Lucu sekali, jadi selama ini hanya aku yang menganggap bahwa mereka adalah orang tuaku, hanya aku yang menganggap bahwa Seungmin adalah adiku, dan hanya aku yang menganggap bahwa aku adalah bagian dari keluarga ini.

Tapi ternyata tidak seperti itu, hanya Seungmin lah anak mereka satu-satunya, dan aku hanyalah seorang anak yang terpaksa mereka angkat demi sebuah nama baik. Mungkin mulai saat ini aku harus memanggilnya Nyonya Lee dibandingkan dengan sebutan mamah, Tuan Lee, dan mungkin Tuan muda Seungmin. Mungkin memang harusnya dari dulu aku sadar akan hal itu.

Tapi entah muncul dari mana keberanianku untuk menjawab kata-kata ibuku, mungkin aku sudah terlalu bosan hidup.

"Jika anda tidak bisa memperlakukan saya sebagai anak anda, bisakah anda memperlakukan saya selayaknya manusia? Bukan kah manusia berhak bergaul dengan sesamannya?"

Kata-kata itu terlontar begitu saja dar mulutku, tidak ada jawaban sama sekali atas pertanyaanku, aku hanya memdapatkan satu tamparan keras di pipi sebelah kiriku, bahkan panasnya terasa sampai telingaku.

"Kau harusnya tahu diri Felix, kau kira kau berbicara dengan siapa." Ucap ibuku tanpa rasa bersalah sama sekali setelah menamparku, dan pergi begitu saja meninggalkanku di depan pintu kamarku.

Tentu saja mereka semua mendengarnya, mereka semua melihatnya. Tapi tentu saja mereka semua takaan perduli.

Hanya ada pak Iman yang memandangku dengan sorot mata penuh kesedihan diujung sana. Mungkin pak Iman merasa bersalah karena tidak mampu membelaku atau sekedar menghiburku.

Aku berusaha tersenyum padanya, meskipun sudut bibirku terasa perih sekali saat ini, tapi setidaknya aku harus memberi tahunya kalau aku baik-baik saja. Ini bukan apa-apa..

*******

Aku memutuskan untuk menghirup udara segar sebentar, ini sudah pukul sebelas malam dan keadaan rumah sudah sepi. Tenang saja, tidak ada yang akan memarahiku karena aku keluar larut malam, bahkan mereka tidak akan menghawatirkanku meskipun aku tidak pulang.

Aku memutuskan pergi ke minimarket di dekat rumahku, aku hanya berniat untuk membeli kopi dingin dan melamun sebentar disana, tapi ternyata ada seseorang yang kemudian ikut duduk didepanku sambil menyesap sebatang rokok di bibirnya.

"Ternyata hidupmu sangat menyedihkan huh?" sebuah kalimat yang sangat cocok untuk memulai sebuah percakapan dengan seorang Seo Changbin.

Benar, lagi-lagi aku bertemu dengan Changbin secara kebetulan, entah apa alasanya untuk berkata seperti itu padaku. Mungkin karena kejadian yang dia lihat tadi, orang lain pun akan bertanya hal yang sama setelah melihat kejadian seperti tadi, wajar saja.

Meskipun ucapannya menyakitkan, tatapannya menunjukan rasa tidak perduli, tapi seorang Changbin tetap melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke arahku.

"Menurutmu kau berhak membuat dirimu sakit bahkan sebelum aku mulai permainanku, yang benar saja Felix. Karna setelah ini hanya aku yang berhak menyakitimu, bukan siapapun." Ucapnya tanpa menoleh kearahku.

Lagi-lagi aku merasakan ada sedikit perhatian diantara kata-katanya yang menyakitkan. Entah kenapa hatiku kembali menghangat olehnya.tapi sesegera mungkin aku menampik pikiran-pikiran seperti itu. Ini hanya akan menambah permasalahan hidupku setelahnya.

"Kau tidak perlu repot-repot memperhatikan kesehatanku Changbin. Kau hanya orang asing, kau tidak bertanggung jawab atas apapun yang terjadi padaku."

"Kuharap kau berhenti untuk berbuat seperti ini, karena ini sangat memuakan untuku." Ucapku sepenuhnya bohong, karna jauh di dalam hatiku, aku berterimakasih atas semua perhatiannya terhadapku.

Tapi aku harus sesegera mungkin menjauhkan Changbin dari hdupku, sebelum semuanya menjadi semakin rumit.

Aku mendengarnya berdecih dan kemudian membuang rokok yang sedari dia hisap ketanah.

"Apa kau selalu seperti ini ? menolak siapapun yang berusaha perduli padamu? Tadi kau bilang ingin diperlakukan selayaknya manusia, tapi kau sendiri yang menolak semua kebaikan dari setiap orang."

"Kau ini membingungkan sekali Felix, dan memang sangat tidak tahu diri juga." Kali ini dia mengucapkannya sambil melihat ke arahku dengan tatapan bingung dan kesalnya.

Aku mengalihkan pandanganku kedepan demi menghindari tatapannya yang menuntut sebuah kejelasan.

"Jangan berusaha memahamiku Changbin."

"Aku ini sulit."

"Aku ini rumit."

Bahkan akupun tidak bisa memahami diriku sendiri, apa lagi kau Changbin.

Désolé - Changlix -Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt