Sembilanbelas - (Amarah)

490 23 0
                                    

.

.

.

Nada menatap khawatir kekasihnya yang pergi begitu saja dengan emosi. Setelah Nada mengucapkan kalimat, ingin membatalkan perjodohan itu. Denal langsung emosi dan pergi meninggalkannya tanpa mendengar terlebih dahulu penjelasan Nada. Padahal Nada sudah berusaha menahannya, tapi lelaki itu tak mau mendengarnya. Ia terlihat sangat kesal karena ucapan Nada.

Mengacak rambutnya dengan frustasi, kenapa semuanya terjadi seperti ini. Ini benar-benar bukan yang seperti dipikirkannya.

Menghembuskan nafasnya dengan berat sambil memejamkan matanya. Memberi ketenangan pada dirinya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Ia pun mendudukan dirinya di sofa dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan. Apakah ucapannya salah. Ayolah bahkan ia belum menjelaskan semuanya. Kekasihnya langsung pergi begitu saja.

Menunggu dalam diam sampai dua puluh menit terlewat. Agar supaya jika ia menelfon Denal, lelaki itu telah sampai di rumah. Jika Denal masih di jalan, akan bahaya mengangkat telfon darinya.

Nada pun memilih menelfon kekasihnya, tapi nihil lelaki itu tak mengangkatnya. Hanya ada suara operator yang terdengar. Memejamkan mata, apakah kekasihnya belum sampai? Tapi ini sudah lewat dua puluh tiga menit, tak mungkin ia belum sampai. Atau mungkin ia sengaja tak mengangkatnya karena masih kesal.

"Denal angkat dong" gumam Nada sambil menempelkan ponselnya di telinga.

Sekali lagi harapannya pupus. Tak ada tanda-tanda lelaki itu mengangkat telfonnya. Apa ia benar-benar marah pada Nada. Entahlah, semuanya terasa membingungkan. Hmm baiklah, sepertinya besok ia harus bertemu dengan Denal untuk membicarakan masalah ini.

.

.

.

Nada memasuki kelasnya yang sudah ramai. Menatap bosan pada kelima temannya yang sedang asyik bercanda di sudut kelas. Masih pagi bukannya mengerjakan tugas malah nge gibah. Dasar anak muda jaman sekarang.

Melempar tasnya dengan asal lalu mengurai rambutnya yang mulai memanjang itu. Ia mengambil sisir dalam tas kemudian menyisir rambutnya yang memang tak disisir dari rumah. Yah begitulah gadis itu jika sedang dalam mood buruk. Bahkan pernah ia mandi di sekolah. Saat itu ia sedang bertengkar dengan kakaknya. Dan karena tak ingin melihat wajah kakaknya Rini. Ia memilih bangun pagi-pagi sekali lalu mengisi semua peralatan mandinya dengan seragam serta buku-bukunya. Kemudian ke sekolah dengan masih memakai piyama tidurnya. Setelah sampai di sekolah, gerbang belum dibuka. Ia berteriak di depan sekolah seperti orang gila. Sampai penjaga sekolah datang dan membukakannya gerbang sambil menatapnya kebingungan.

Saat satpam bertanya kenapa ia berpakaian seperti itu, Nada hanya menjawab terserah dirinya saja, lalu berjalan ke dalam. Dan memilih mandi di toilet lantai atas. Untungnya saja pagi-pagi sekali guru belum datang. Jadi tak ada yang melarangnya. Teman-teman sekelasnya pun kaget, saat melihat ia masuk kelas dengan handuk yang masih di kepala. Mereka bertanya dengan bingung. Ia menjawab dengan santai, bahwa ia mandi di sekolah. Satu kelas langsung sweatdrop mendengar ucapan gadis itu. Ok gadis itu benar-benar aneh. Dia menganggap sekolah ini seperti rumahnya sendiri. Tapi memang begitu adanya. Setiap guru berbicara waktu apel selalu berkata sekolah ini adalah rumah kedua kalian. Jadi otomatis Nada menganggap ini benar-benar rumah keduanya.

Setelah selesai menyisir rambutnya, ia berjalan mendekati teman-temannya. Dan seenak jidat menduduki dirinya di tengah-tengah Dani dan Dian. Pasangan itu berdecak kesal.

"Anjirr enak banget lo masuk tengah" gerutu Dani dengan kesal.

Dian menatap kekasihnya tajam, "mulut tuh di kontrol"

Real Dream (END)Where stories live. Discover now