DuaLima - (Putus)

491 20 0
                                    

.

.

.

"Gak yah tetap gak. Lo pikir tempat itu gak berbahaya" ucap Denal yang entah sedang bicara dengan siapa. Membuat Nada mati penasaran dibuatnya. Apalagi dengan kata-kata kesal yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Siapa Denal?" tanya Nada yang semakin penasaran dibuatnya. Pasalnya lelaki itu terlihat marah ketika berbicara dengan seseorang di ponsel itu.

Denal melepas ponsel gadis itu di atas meja, lalu menatap tajam mata Nada, "kamu gak boleh pergi"

"Kamu ngomong apa sih?"

"Dian tadi nelfon trus ngajak kamu ke bukit bunga. Dan aku gak ngizinin, di sana berbahaya. Kalau kamu kenapa-napa gimana?"

Nada melebarkan matanya ketika mendengar penjelasan lelaki itu. Jadi Dian yang menelfon tadi dan mengajaknya ke bukit bunga. Demi kantong ajaib Doraemon itu adalah tempat kekinian yang belum pernah dikunjunginya. Memang jalan ke sana sedikit berbahaya tapi ketika sampai di tempat itu akan disajikan pemandangan yang sangat indah. Ouuwh betapa ia sudah tidak sabar untuk ke sana.

Menahan nafas ketika mengingat ucapan Denal yang tak mengizinkannya pergi ke tempat itu. Nada memutar bola matanya kesal.

"Kenapa kamu bilang kayak gitu sama Dian. Dia udah berusaha cari waktu untuk pergi kesana dan kamu malah gak ngizinin aku pergi, itu sama aja aku gak hargai perjuangan Dian"

"Jalan kesana berbahaya Nada"

"Ahh kamu selalu kayak gitu, aku pengen kemana-mana selalu dibatasi. Pokoknya aku bakal ikut"

Denal menatapnya tajam, "gak boleh"

"Terserah aku dong, diri-diri aku. Pokoknya aku bakal ikut. Kamu gak tau berapa lama aku nunggu Dian untuk ngajak aku kesana, lama Denal. Dan kamu dengan seenak jidat gak ngizinin aku. Gak aku tetep bakal ikut"

Emosi Denal langsung menggebu-gebu ketika mendengar bantahan Nada yang akan tetap pergi ke tempat itu. Darah telah naik ke ubun-ubunnya. Dalam hitungan menit ponsel mahalnya telah terkapar indah di lantai keramik itu. Ia membantingnya dengan emosi.

"KAMU POKOKNYA GAK BOLEH PERGI" Bentak Denal keras. Membuat Nada tertunduk takut, baru kali ini ia melihat kemarahan kekasihnya. Badannya langsung bergetar dan tak menyadari bahwa air matanya sudah menetes. Gadis itu mulai menangis.

"Hiks kamu kalau kesel sama aku pukul aja aku, gak usah ngelempar hp kayak gitu. Aku gak suka yah apa-apa dibawah dengan emosi, kamu tinggal hiks setujuin aja udah semuanya selesai. Gak perlu pakai bentak-bentak aku segala. Dan kalau memang kamu gak suka sifat keras kepala aku mending gak usah pacaran sama aku. Hiks gak guna kalau dalam pacaran gak ada yang saling ngertiin satu sama lain" tangis gadis itu pecah. Ia mengeluarkan segala unek-uneknya. Apa salahnya coba mengizinkannya pergi ke tempat itu. Lagipula ia akan berhati-hati di jalan.

"Sayang" panggil Denal yang mulai melembut.

Nada tak membalas panggilannya, gadis yang masih terisak itu lebih memilih mengambil ponsel kekasihnya yang tergeletak indah di lantai. Ia membaliknya dan retak semuanya retak. Padahal ponsel mahal itu baru saja di ganti anti goresnya, tapi kini jadi hancur kembali. Nada menghapus air matanya kasar dan mulai mengotak-atik ponsel itu. Bersyukur ketika ponsel itu masih bisa disentuh. Ia bertaruh ponsel itu pasti sangat mahal, lihat saja benda itu masih bisa disentuh padahal dilempar sangat kuat oleh Denal.

Nada kemudian berdiri, ia menghampiri kekasihnya. Menaruh ponsel itu di atas meja, "kalau emosi sama aku, aku yang dibanting jangan hp kamu" ucap Nada lalu berjalan keluar meninggalkan pekarangan rumah kekasihnya dengan perasaan sedih, marah, kecewa. Entahlah ia butuh waktu sendiri.

Denal menatap kepergian gadis itu dengan menyesal. Ya menyesal karena sudah membentaknya. Seharusnya ia tak perlu bersikap begitu, ia bisa bicara baik-baik dengan Nada. Pasti gadis itu akan mengerti.

"Maafin aku sayang" gumamnya pelan sangat pelan.

.

.

.

Nada melangkahkan kakinya dengan gontai di taman itu. Suasana mulai sunyi karna hari mulai malam. Menangis, ia kembali menangis. Entahlah ia jadi sangat cengeng ketika keinginannya tak dipenuhi, padahal dulu ia tak begitu. Mungkin saja pengaruh Denal. Lelaki itu selalu menuruti kemauannya. Selagi ia bisa tentu saja.

"Ahh kok gue jadi cengeng gini sih" dumel Nada sambil menghapus kasar air matanya.

Ia menyusuri seluruh taman dengan matanya, terhenti pada kursi taman yang kosong. Berjalan pelan-pelan ke tempat itu, setelah sampai ia langsung mendudukinya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. Berusaha memberi sensai tenang pada hatinya yang dikabuti asap kekesalan.

Sebenarnya ia lelah seperti ini. Ia ingin hubungannya dengan Denal berjalan baik-baik saja tanpa ada masalah. Tapi ini sama sekali bukan keinginannya, baru saja baikan dengan lelaki itu kini kembali marahan. Entahlah ia ingin mempunyai hubungan yang harmonis. Terpikir dalam benaknya, apakah ia harus mengakhiri ini.

Menutup matanya ketika dirasakan matanya dipenuhi air mata. Lagi. Air matanya mengalir. Hatinya sesak ketika mengingat Denal membentaknya. Kenapa rasanya seperti ribuan jarum menusuk hatinya secara perlahan. Sesak dan sakit. Ia menahan nafas, lalu merogoh ponselnya dari kantong celana. Mencari kontak bernama my love. Senyumnya merekah sejenak ketika mengingat ia dan Denal pernah berperang hanya karena nama kontak lelaki itu. Awalnya ia menulis musuh, Denal tak terimah. Lelaki itu dengan wajah kesal menolak nama itu dan terjadilah aksi rampas merampas ponsel. Sampai akhirnya benda itu berada di tangan Denal, lalu lelaki itu menggantinya menjadi my love.

Nada kemudian menelfonnya. Tak menunggu berapa lama, sampai terdengar suara lelaki itu.

"Hallo Sayang" ucap Denal dari seberang sana.

Nada tersenyum simpul, "maaf untuk yang tadi yah, aku memang keras kepala. Dan aku janji gak bakal ke bukit bunga"

Denal terdiam dengan ucapan kekasihnya. Ia tahu gadis itu berusaha untuk tidak menangis. Terdengar dari suaranya yang ditekan.

"Aku.. Mungkin ini yang terbaik untuk kita. Hubungan ini gak akan berjalan baik kalau kita berdua selalu bertengkar. Jadi lebih baik kita akhiri aja. A-aku ingin kamu bebas, memilih siapa yang baik untuk kamu. Aku ingin kamu bahagia bukan dengan aku tapi dengan gadis lain yang lebih baik" ujar Nada pelan. Berusaha untuk tidak mengeluarkan isakannya.

"Nada kamu gak boleh gitu. Aku sayang sama kamu dan aku akan bahagia hanya sama kamu, aku gak mau yang lain"

Nada mulai terisak ketika mendengar suara lembut lelaki itu. Ya ini sudah berakhir. Ia dan Denal sudah tak ada lagi hubungan apa-apa.

"Hiks makasi untuk semuanya" gumam Nada setelahnya ia memutuskan panggilannya.

Nada menangis sejadi-jadinya di taman itu. Kenapa rasanya beban dihatinya semakin bertambah, bukan berkurang. Apa ia salah mengambil keputusan.

"Hiks kenapa berakhir seperti ini sih" tanya Nada pada dirinya sendiri. Ia mengangkat kedua kakinya lalu duduk meringkuk. Menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya.

Mungkin kali ini ia harus menangis, agar mendapatkan ketenangan.

"Nada lo ngapain di sini?" tanya seseorang.

Nada mengangkat kepalanya menatap seorang lelaki yang berdiri membelakangi cahaya lampu taman, sehingga wajahnya tak terlalu jelas. Menyipitkan matanya agar dapat mengetahui wajah orang itu. Tubuhnya menegang ketika mengetahui siapa lelaki itu.

"Reno" gumamnya...

.

.

.

Bersambung.....

Jangan lupa ninggalin jejak yah....

Real Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang