18. Harusnya lebih lama

2.3K 107 13
                                    

Entahlah menemanimu adalah keinginan yang tak pernah hilang dari diriku.

°°°
Kumpulan awan sudah berwarna gelap, sinarnya rembulan bersatu dengan bintang terlihat sangat indah, kedua remaja yang sedang menatap lampu jalan karena sesaknya ibu kota membuat waktu semakin terulur untuk sampai di tujuan.

Mereka sampai di rumah Larisa tepat pukul 20:30 WIB, terlihat rumah ber-cat cream sepi tak berpenghuni, menandakan mamanya belum pulang dari kantor, begitu juga Bi Inah yang minta ijin sejak tadi sore untuk pulang kampung lantaran ada urusan, dan satpam keluarga Atmaja yang merupakan suami dari Bi Inah juga ikut pulang.

"Gak mau mampir?" tawar Larisa pada Farel, terlihat jelas kelelahan Farel menemani Larisa sampai larut malam.

"Iya sebentar aja." Balas Farel, diikuti langkahnya keluar dari mobil dan duduk di kursi kayu depan rumah Larisa dengan pahatan yang sangat indah.

"Mau minum apa?" tanya Larisa sebelum dia masuk rumah untuk mengganti pakaiannya.

"Air putih."

"Gak mau yang lain?"

"Gak." Singkat Farel

Larisa sudah malas untuk menawarkan lagi, lantaran jawaban singkat sudah menjawab semuanya, ia segera bergegas masuk ke dalam rumah menaruh boneka panda yang sejak tadi tak lepas dari pelukannya dan perlengkapan lukis yang sudah dibelinya, mengganti seragam dengan setelan kaos santai berwana biru dan celana putih yang panjangnya sedikit dibawah lutut, tujuannya kini beralih ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan sepiring biskuit cokelat kesukaannya.

Dilihatnya Farel bersandar pada kursi yang didudukinya, bola mata coklat itu terpejam, membuat Larisa sedikit merasa tak enak hati karena telah merepotkan Farel, bagaimana tidak ia merasa menjadikan Farel sebagai supirnya tadi, belum lagi Larisa tak mengeluarkan uang sepeserpun, semua yang di beli Larisa, Farel lah yang membayarnya, tak memberi celah pada Larisa untuk menggantinya.

Sekarang ia tahu di balik dinginnya Farel, terselip sikap yang sangat baik.

Larisa duduk di samping Farel dengan perlahan, ingin membiarkannya beristirahat lebih lama, namun sepelan apapun Larisa duduk, Farel tetap saja mengetahui nya, bola mata cokelat yang tadinya terpejam kini sudah terbuka.

Keheningan terjadi cukup lama, seolah-olah mereka sedang membiarkan hati mereka berbincang dalam keheningan.

Hingga suara ringisan terdengar, lantaran aksi tangan lelaki disampingnya yang tiba-tiba menjitak dahi putih Larisa.

"Akkh,, sakit tau." Ringis Larisa, bibirnya mengerucut.

"Tumben diem." Ucap Farel yang merasa canggung dengan keterdiaman beo cantik disampingnya.

"Biar gak Lo katain berisik." Tandas Larisa mengingatkan ucapan Farel di mobil tadi.

Tak ada niatan Farel menyahuti perkataan Larisa, tangannya sibuk menyuapkan biskuit cokelat ke dalam mulutnya.

"Rel," panggil Larisa.

"Hmm."

"Makasih udah anterin gue."

"He'em."

Bahkan tangan Larisa kini gatal ingin meninju lelaki dingin sampingnya, bagaimana tidak mulutnya seakan malas sekali terbuka untuk mengeluarkan kata-kata.

"Pinjem HP-nya."

"Buat apa?" tanya Larisa heran.

"Ada perlu."

Diserahkannya benda pipih itu pada Farel, pandangan matanya ingin melihat apa yang akan Farel lakukan pada ponselnya.

Terlihat tangan Farel membuka sebuah pesan yang tak di ketahui nama pengirimnya, lantas Farel menyimpan nomer itu dengan sebutan namanya, sekarang Larisa tau sosok yang menanyakan dirinya apakah sudah pulang waktu itu adalah Farel, entah mengapa mengetahui kenyataan itu membuat Larisa senang.

"Kenapa waktu itu gak langsung bales aja?" Tanya Larisa penasaran.

"Kuota abis." Ucapnya tanpa beban.

"Bohong, bilang aja gengsi."

Farel lagi-lagi hanya diam tak menanggapi perkataan Larisa, mungkin benar apa yang dikatakan Larisa.

Tiupan angin sangat terasa di permukaan indra peraba, belum lagi Larisa yang hanya memakai kaos lengan pendek, rasa kantuk juga mulai menghampirinya, Farel yang tak ingin membuat gadis disampingnya kedinginan dan terlihat mulai mengantuk, karena matanya yang sedikit memerah dan beberapa kali menguap, membuatnya harus segera pamit pulang.

"Gue pulang dulu." Pamit Farel seraya beranjak dari tempat duduknya.

"Buru-buru amat."

"Kenapa, masih kangen?" ucap Farel, terukir senyum yang sangat tipis di wajah tampannya, mungkin Larisa tak akan menyadari itu.

"Pede banget bang,"

Kini Larisa beranjak dari duduknya, mengantarkan Farel ke tempat dimana mobilnya terparkir, kedua remaja itu terlihat seperti sepasang kekasih saja.

Sebelum pintu Lamborghini itu terbuka, Farel membalikkan badannya menatap gadis di dekatnya.

"Masuk gih, di luar dingin."

Ucapan yang mampu membuat Larisa mengukirkan senyum manisnya.

"Hati-hati di jalan, gausah ngebut." Tutur Larisa.

Perlahan derum mobil mulai terdengar, dan semakin menjauh dari halaman rumah Larisa, gadis itu mulai beranjak dari posisinya, menatap horor keheningan di sekelilingnya, jujur saja ia takut jika berada di rumah sendirian namun apalah daya ketika situasi memaksanya.

***
Makasih buat yang udah baca :)

Vote dan komentarnya jangan lupa :)

Minta vote ulangnya boleh?

Soalnya part 14 sampai 17 kemaren aku urutin karena sebelumnya acak, jadi votmennya di part itu hilang semua :'(

Larisa and The Ice BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang