8 - Menyakitkan

92.3K 7.3K 852
                                    

Metta menghentikan langkahnya tepat satu meter sebelum pintu kelas Fauzan. Seakan masih ragu, perempuan itu berpikir dan menimbang-nimbang apakah ia harus melakukan ini atau tidak. Ya, Metta berniat akan memberitahu Fauzan tentang kehamilannya.

Tentu saja ini bukan kemauannya. Ini semua atas perintah dari Qila yang sama sekali tidak bisa dibantah olehnya.

Qila sudah tahu tentang kehamilannya. Dengan melewati berbagai cara agar sahabatnya itu percaya, akhirnya Qila percaya dan mengerti juga. Tentunya dengan pengakuan dari Metta sendiri. Metta meyakinkannya, bahkan ia menceritakan bagaimana awal mulanya itu bisa terjadi.

Qila memaksanya.

Gadis itu memaksa Metta agar segera berterus terang kepada ayah dari anak yang ada dalam kandungan Metta. Antara ragu dan takut, akhirnya Metta menyetujuinya. Itu memang harus Metta lakukan, selain untuk meminta pertanggung jawaban, Metta juga di ancam oleh Qila jika ia tidak berbicara kepada Fauzan sekarang juga.

Sadis. Qila memang tidak bisa dibantah sama sekali. Gadis itu mengancam akan memberitahu Fauzan secara terang-terangan di depan orang banyak jika Metta tidak mau melakukannya sendiri.

Metta bergidik ngeri ketika mengingat perkataan Qila kemarin. Dengan tidak tahu malunya Qila mengatakan bahwa ia akan datang menemui orang tua Fauzan untuk meminta pertanggung jawaban atas kelakuan anaknya sendiri.

Ngeri. Metta tidak bisa membayangkan itu.

Menghela napas seraya meyakinkan dirinya, Metta mulai melangkah menuju pintu kelas yang tertutup rapat itu.

Metta ingin masuk, tapi tidak tahu caranya bagaimana. Bingung antara mengetuknya atau langsung membukanya saja.

Metta memilih opsi kedua. Perempuan itu akan langsung membukanya saja. Ketika tangannya sudah memegang kenop pintu itu, tiba-tiba saja pintu itu terbuka dengan sendirinya. Tidak, bukan dengan sendirinya, melainkan ada seseorang yang membukanya dari dalam.

Metta menghela napas lega. Sosok laki-laki jangkung tengah berdiri di hadapannya. Bonek, Metta tahu nama laki-laki itu dengan melihat nametag  yang  terpasang di dada kanan laki-laki itu.

"Ah, em ... aku, boleh minta tolong?"

Metta melihat Bonek mengernyitkan keningnya. Mungkin karena heran dengan perkataannya tadi.

"Itu, di dalem ada Fauzan? Boleh minta tolong di panggilkan?"

Jujur Metta ragu mengucapkannya.

Setelah lama terdiam, akhirnya Bonek mengangguk juga. Laki-laki itu kembali menoleh kedalam kelas.

"Bos, ada yang nyariin nih! Cewek."

--------------

Fauzan tengah duduk menyandar dengan pandangan tak tentu arah. Entahlah, laki-laki itu selalu terlihat tidak semangat akhir-akhir ini.

Fauzan mendengus kala pikirannya kembali memikirkan perkataan papanya semalam. Dia tidak terima, Fauzan juga punya impian meski banyak orang yang mengira bahwa dirinya tidak punya tujuan.

Dengan gampangnya papanya berbicara bahwa Fauzan harus kuliah di universitas yang telah ditentukan. Kalau hanya universitas Fauzan bisa menerima, tetapi tidak dengan jurusannya.

Fauzan tidak tertarik dengan penawaran papanya itu. Ia tidak mau menggantikan papanya untuk memimpin perusaan keluarganya. Menurut Fauzan, itu semua terlalu memusingkan dan dengan itu Fauzan tidak akan mendapat kebebasan.

Fauzan tidak suka bertele-tele. Laki-laki yang selalu di cap buruk itu hanya ingin menjalankan apa yang laki-laki itu inginkan. Tidak perlu mewah, cukup mengurus kafe pemberian mamanya saja sudah cukup baginya.

FauzanWhere stories live. Discover now