15 - Mencari Wali

85.1K 6.7K 204
                                    

Fauzan menatap gedung besar yang ada di hadapannya, cowok itu berasumsi bahwa itu mungkin tempat kerja pamannya Metta.

Fauzan melangkah mengikuti Metta dari belakang, mereka mulai memasuki kantor itu. Fauzan mengernyit kala melihat Metta yang memasuki lift begitu saja tanpa menghampiri resepsionis terlebih dahulu.

"Paman atau om lo kerja disini?"

Metta menoleh menatap Fauzan. "Ini kantor om Adji, paman aku."

Terkejut? Tentu saja. Fauzan tidak habis pikir dengan Metta, kalau ini kantor omnya, lalu kenapa cewek itu hanya tinggal di rumah kecil biasa? Bukannya Fauzan merendahkan, tapi logikanya itu tidak mungkin. Memang orang tua Metta sudah tidak ada, tapi setidaknya omnya itu pasti membiayainya, bukan?

"Om Adji adik siapa? Mama atau papa?" tanya Fauzan penasaran. Tolong ingatkan Fauzan ketika cowok itu sudah sadar nanti, katakan bahwa dia sudah bertidak se kepo dan se peduli ini dengan seseorang.

"Om Adji adik dari Ayah." Metta melangkah keluar ketika lift itu sudah terbuka.

Fauzan mengangguk seraya mengikuti Metta melangkah. "Oh. Om lo galak, ya?"

Metta mengernyit menatap Fauzan, kenapa cowok jangkung itu bertanya seperti itu? Apakah dia takut dengan pamannya? Atau ... ada maksud lain?

Metta kembali melangkah, "kamu takut?" Jujur saja, Metta tidak berani menatap Fauzan sambil bertanya seperti itu.

Fauzan mengernyit, maksud Metta apa? Apakah cewek itu berpikir kalau ia takut dengan pamannya? Tidak, maksud Fauzan sama sekali bukan seperti itu. Fauzan tidak pernah takut dengan seseorang kalau ia benar. Lalu, apakah cowok itu berada dalam kebenaran setelah menghamili Metta?

"Bukan gitu maksud gue."

Metta tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, Fauzan ada-ada saja, gengsinya memang terlalu kuat. "Gak papa. Om Adji baik, kok. Palingan cuma dibogem dikit doang, udah biasa, kan?"

"Maksud lo apaan, sih? Gue gak takut sama om lo."

Metta berbalik menatap Fauzan. "Terus?"

Fauzan menghela napasnya pelan. "Maksud gue emang om lo gak ngajak lo buat tinggal dirumahnya gitu?"

Sekarang Metta paham dengan maksud perkataan Fauzan, mungkin cowok itu mengira kalau om Adji tidak pernah mengajaknya untuk tinggal bersama sehingga mengharuskan ia untuk tinggal di rumah kecil sederhana. Padahal, bukan itu yang sebenarnya terjadi, bukan omnya yang tidak pernah mengajak Metta, hanya saja Metta nya yang selalu menolak dengan berbagai macam alasan.

"Enggak. Om Adji selalu nyuruh aku tinggal dirumahnya, akunya aja yang gak mau." Metta kembali melanjutkan langkahnya.

Salah satu penilaian untuk Metta yang ada dalam pikiran Fauzan hanyalah satu, cewek itu aneh. Benar-benar aneh. Sedikit tidak menyangka jika zaman sekarang masih ada orang yang lebih memilih hidup susah dari pada hidup mewah.

Fauzan kembali mengikuti Metta. "Oh. Kok bisa gitu?"

"Kepo nya nanti aja, ya." Metta membuka pintu sebuah ruangan, tanpa ketukan, cewek itu langsung masuk begitu saja.

Ruangan kerja yang sangat luas, itulah penilaian Fauzan. Pandangan cowok itu tidak pernah lepas dari Metta yang tengah menghampiri seseorang. Cowok yang masih mengenakan seragam sekolah itu berdiri jauh dibelakang Metta, bukan tidak berani, ia hanya ingin menunggu Metta mempersilahkannya saja.

"Hai, Om!" seru Metta.

Laki-laki yang tengah duduk sambil menunduk mengalihkan pandangannya menatap Metta, mengernyit namun tidak lama kemudian tersenyum lebar. "Hei, Metta."

FauzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang