9 - Entah bagaimana

88.8K 6.8K 184
                                    

Hari-hari Metta lalui tanpa rasa, semuanya terasa hampa. Entah bagaimana dengan perasaannya, semuanya begitu mengecewakan menurutnya.

Setelah pertemuannya dengan Fauzan di rooftop waktu itu, sejak saat itu juga Metta telah kehilangan gairah semangat hidupnya.

Bingung antara maju dan mundur. Maju susah mundur pun salah. Yang paling menyakitkan baginya adalah ia yang tak bisa menahan diri waktu itu. Andai saja ia tidak bertemu dengan Fauzan, andai saja Metta tidak jatuh hati dengan Fauzan, mungkin ini semua tidak akan pernah terjadi.

Benar kata Fauzan, kalau saja saat itu Metta tidak sok peduli dengannya, mungkin Metta tidak akan menanggung kesedihan ini semua. Semua memang salah Metta, ia tidak bisa menyalahkan Fauzan begitu saja.

Menangis. Memang hanya itulah yang sering Metta lakukan sekarang. Bahkan Metta sempat berpikir untuk melenyapkan kehidupan yang tak bersalah dalam perutnya itu. Tidak, untung saja Metta segera menyadarkan dirinya. Itu semua tidak boleh terjadi, Metta harus bisa merawat dan menjaganya, meskipun tanpa seorang pun yang menemaninya.

"Gue udah bilang, kan? Udah kita ke rumah dia aja. Kita langsung minta pertanggung jawaban sama orang tuanya."

Metta mendengar namun tidak memperdulikannya. Bosan rasanya, hampir setiap hari Qila berkata seperti itu. Rupanya sahabatnya itu tidak pernah kapok meski kerap sekali Metta menolak usulannya.

"Gue tuh bingung sama lo Met. Tiap hari kerjaannya bengong mulu, ujung-ujungnya pasti nangis. Udah gue bilang, kan? Kalo kita mending langsung ke rumahnya aja. Udah pasti deh tuh si ketua bakal tanggung jawab." Meski Metta selalu menolak usulannya, Qila masih setia untuk mengatakannya.

"Gak segampang itu, Qila."

"Ya seenggaknya kita usaha. Liat tubuh lo, udah kurus kerempeng gitu gara-gara lo banyak pikiran. Lo gak kasian sama anak yang ada dalam kandungan lo?"

Metta terdiam. Pergi menemui orang tua Fauzan bukanlah hal yang tepat menurutnya, itu bisa saja menjadi bahan masalah baru untuknya. Mengenai tubuhnya, sebenarnya Metta sengaja mengurangi porsi makannya. Entahlah, Metta pikir itu akan membunuhnya secara perlahan. Benar-benar perempuan bodoh.

"Atau ... lo kasih tau Mama lo aja?"

Metta menoleh menatap Qila. Apa-apaan? Itu sama saja menyerahkan dirinya begitu saja kepada wanita cantik berkelakuan licik itu. "Itu ide gila."

Qila memutar bola matanya malas. "Terserah, lo emang bikin pusing ya, Met!"

"Gue gak minta lo buat pusing Aqila."

Perdebatan mereka terhentikan oleh suara bel yang menandakan bahwa pelajaran akan segera di mulai.

-------------------

Fauzan tidak masuk kelas pagi ini, yang laki-laki itu lakukan hanyalah duduk sendirian di rooftop dengan pandangan yang seperti biasa, tak tentu arah.

Setelah pertemuannya dengan Metta waktu itu, Fauzan benar-benar tidak bisa tidur tenang. Laki-laki itu selalu memikirkan Metta, memikirkan bagaimana keadaannya, terlebih lagi Fauzan memikirkan bagaimana dengan kondisi kandungan Metta. Ya, serius. Fauzan memikirkan itu semua.

Sebenarnya Fauzan merasa bersalah, hanya saja laki-laki itu terlalu takut untuk melangkah.

Semalam, berharap bisa menghilangkan segala masalah dalam pikirannya, Fauzan pergi ketempat biasanya, kelab malam. Minum minuman yang mungkin bisa menenangkan walau hanya dalam waktu sebentar saja. Tidak ketinggalan, keenam temannya yang lainpun ikut menemaninya. Mereka juga yang mengantarkannya ketika ia benar-benar sudah mabuk berat dan sudah hilang kesadaran.

FauzanWhere stories live. Discover now