3. Keluarga Baru Pembawa Derita

6.2K 506 2
                                    

Hatiku masih berat memang menerima pernikahan baru papa bersama tante Riris yang katanya sahabat mama. Tetapi, kembali lagi, aku tahu bahwa papa begitu memikirkan aku. Dan pula, papa butuh teman untuk sekadar bercerita dan berbagi rasa.

Hatiku pun perlahan luluh, setelah mengenal sosok tante Riris lebih dekat. Ia merupakan sosok keibuan yang terlihat lemah lembut dan begitu manis. Ia selalu memperhatikanku dan bertanya apapun tentang keperluanku. Aku bersyukur jika memang papa menemukan pengganti mama yang sungguh baik hati.

Papa sudah menikah dengan tante Riris, dan alhasil aku pun yang awalnya merupakan anak tunggal menjadi anak sulung. Karena, dua saudara tiri perempuanku masih duduk di bangku SMA.

Aku mencoba menerima segala keadaanku. Aku tidak ingin menjadi egois. Aku selalu mencoba mengalah dan menjadi kakak yang terbaik bagi Milly dan Merry adik tiriku. Semuanya ku berikan begitu ikhlas untuk mereka. Tanpa sadar, mereka telah mempermainkan aku dan merebut segala yang ku miliki.

Mereka bilang, "kamar tamu kecil banget untuk kami berdua kak, kita tukeran kamar ya. Kan kamar kakak lebih besar."

Sejak kecil aku tidur di kamar itu. Melewati lebih dari separuh hidupku di sana. Jujur saja, aku tidak ikhlas jika bertukar kamar dengan mereka.

Tetapi, kembali lagi, aku tak ingin menjadi egois. Melihat tante Riris yang menasihati kedua anaknya, membuat aku terenyuh.

"Kamar itu cukup untuk kalian berdua! Jangan ganggu kak Cindy!" Seru tante Riris membelaku.

"Ma, kami tuh sesak berdua di kamar kami. Sempit banget, ma." Rengek Milly.

"Iya, ma. Nggak ada meja belajarnya juga. Kalau mau ngerjain PR, harus di ruang tamu. Kan jadi nggak fokus belajar." Rengek Merry.

"Aah, mama nggak mau tahu, pokoknya, kalian berdua jangan bandel. Jangan ganggu kak Cindy! Kalau mau kerjakan PR kan bisa di atas tempat tidur, di meja makan, atau di mana juga bisa. Jangan manja!" Tegas tante Riris.

Aku jadi tidak enak hati melihat tante Riris yang kewalahan menghadapi kedua saudara tiriku. Jadi ku putuskan untuk mengalah. Membantu pemecahan masalah ini.

"Yaudah, tante. Nggak papa kok, kita tukeran kamar aja." Putusku walau sepenuh hati aku tidak ikhlas.

"Tapi, ndy, nggak usahlah." Ucap tante Riris tak enak hati.

"Nggak papa, tante. Lagian aku tidur sendirian, kasihan adik-adik kalau susah mau belajar di kamar mereka." Ucapku.

Tante Riris merengutkan wajahnya. Ia memegang tanganku dan mengusap punggungku. "Tante jadi nggak enak sama kamu, ndy," ucapnya.

"Nggak papa, tante. Kitakan keluarga, rumah ini juga rumah kalian. Jangan nggak enak hati."

Tante Riris terlihat begitu baik. Jika orang melihat, orang pasti mengira bahwa akulah anak kandung tante Riris. Bukan Milly dan Merry. Karena ia selalu lebih membelaku ketimbang dua adik tiriku.

Aku.. terbuai.

Aku.. terlena akan kebaikannya.

Tak ku sangka, ia ular yang perlahan mendekatiku dan melilitku dengan kuat. Caranya begitu halus. Caranya begitu tak terbaca. Jika ku katakan pada semua orang bahwa dia adalah orang jahat, maka semua orang pasti akan menghujatku. Menganggapku tak tahu terima kasih.

Malam itu, papa menyuruhku untuk memanggil kedua adik dan ibu tiriku di lantai atas. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan sudah waktunya untuk makan.

Aku lantas melangkahkan kakiku menuju kamar yang dulu pernah ku tempati. Untuk memanggil kedua saudari tiriku yang kini jadi tuan di kamar itu.

Tetapi, langkahku langsung terhenti begitu mendengar namaku di ucapkan. Jantungku langsung berdegup cepat mendengar ucapan mereka.

"Mama kok baik banget sama kak Cindy?! Mama tuh lebih sayang sama kak Cindy!"

"Iya! Mama nggak sayang lagi sama kita. Apa-apa, selalu lebih utamakan kak Cindy!" Kedua saudari tiriku memprotes sikap baik tante Riris padaku.

Tetapi, jawaban tante Riris lah yang membuat aku sadar. Nyatanya, aku telah ditipu. "Siapa bilang?! Lihat, kamar ini sekarang punya siapa? Mobil mewah Janiarta sekarang untuk antar jemput siapa? Anak mama, kalau kalian mau kuasai seluruh rumah ini, kuasai dengan cara yang halus. Cindy itu bego! Mudah di manfaatkan!"

Aku tidak menyangka bahwa kata itu terucap dari bibir orang yang sudah ku anggap sebagai pengganti posisi mama. Nyatanya, di belakangku, ia punya niat busuk seperti itu.

"Sebentar lagi, Cindy selesai kuliah. Biar dia cepat dapat kerja, terus nikah dan angkat kaki dari rumah ini. Setelah itu, tinggal kita yang kuasai semua harta papanya."

"Itu rencana mama, sayang. Karena itu, mama dorong Erika dari tangga waktu itu."

Aku tercengang. Aku syok. Aku benar-benar terkejut. Apa? Jadi, mamaku meninggal bukan karena murni kecelakaan? Nyatanya, ia di dorong oleh tante Riris.

Aku membekap mulutku dengan air mata yang mengalir deras. Ya Tuhan, iblis macam apa yang sudah masuk di kehidupan kami batinku.

Aku langsung berlari pergi dari sana. Aku langsung menghadap papaku, memeluk papa dan menangis dengan deras.

"Cindy? Kenapa nak?" Tanya papa terkejut dengan reaksiku.

Aku tak mampu berbicara. Dadaku sangat sakit. Tenggorokanku sangat nyeri. Ya Tuhan, kenapa semua ini terjadi. Aku hanya menangis dan memeluk papa dengan erat.

"Cindy," suara itu terdengar seperti suara iblis bagiku. "Kenapa nak?" Perhatiannya yang palsu itu selama ini berhasil memanipulasiku.

Ia memegang tanganku, dan langsung ku tepis dengan kasar. "Jangan pegang aku!" Teriak ku dengan kasar.

Reaksiku justru mengundang kemarahan papa. "Cindy! Apa-apaan kamu?! Mama kamu tanya baik-baik, kamu malah seperti itu!" Bentak papa padaku.

"Dia bukan mamaku!" Seruku terkuras emosi. "Dia ini perempuan iblis, papa!"

PLAK!!

Untuk pertama kalinya, papa menamparku. Aku memegang pipiku yang terasa perih, menatap papa dengan perasaan yang begitu berdenyut nyeri. Ku lihat, tangan papa bergetar, menyesal akan apa yang baru saja ia lakukan terhadapku.

"Mas, kenapa kamu nampar Cindy?!" Wanita itu mendramatisir keadaan. Ia berlagak membelaku.

Aku sudah tahu ini akan terjadi. Tidak akan ada yang percaya jika aku mengatakan bahwa dia telah membunuh mama. Karena tak ada tanda-tanda pembunuhan yang terjadi pada mama. Di tambah lagi, wanita itu begitu pandai bermain peran.

Aku pun pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tidak tahan akan cobaan hidup yang tengah menimpaku saat ini.

Aku menangis di kamarku. Menangis merasakan segala kesedihan dan penderitaan ini.

Aku butuh teman. Teman untuk menceritakan segala keluh kesah dan perasaanku ini. Jadi, aku mendial nomor sahabatku Lia. Berharap, Lia bisa menjadi temanku dalam membagi kesusahan ini.

Tetapi, sungguh sial nasibku malam ini. Aku harus bersedih seorang diri. Lia tidak dapat ku hubungi. Begitu juga dengan Erik, kekasih hatiku, yang entah kenapa malam ini tidak menerima panggilanku.

Selama ini, hidupku terlalu sempurna. Tidak berpikir bahwa akan datangnya cobaan seperti ini. Aku terlalu lemah, terlalu lemah menghadapi cobaan ini seorang diri. Tolong aku Tuhan..

......
Siapa yang baca cerita ini sesak napas? 🙋

Belum seberapa say.. belum seberapa.. 😄
Next part sediakan serbet untuk lap ingus ya say hehe 😂

Jangan lupa vote dan komen yaa..
Makasih 💜

Cinderella Escape || Panji ZoneWhere stories live. Discover now