18. Mencari Bantuan

4.1K 566 54
                                    

Kaki Cindy bergetar memasuki rumahnya sendiri. Pagi ini, ia sudah memastikan bahwa tante Riris telah pergi dari rumah, bersama dengan kedua adik tirinya yang berangkat ke sekolah.

Dengan bantuan bi Narti dan satpam penjaga rumah, Cindy pun memasuki kediaman Janiarta. Bi Narti menuntun langkahnya untuk bertemu sang papa, Jefri Janiarta.

Seluruh tubuh Cindy mengigil. Air matanya melesak begitu saja tanpa di minta. Perasaannya kacau balau. Ia bergetar.

Cklek!

Pintu kamar sang papa pun di buka oleh bi Narti. Cindy pun mulai melangkahkan kakinya. Saat netranya mendapati sosok sang papa yang terbaring lemah di atas ranjang, kaki Cindy pun refleks berlari menuju papanya. Memeluk tubuh sang papa sambil menangis penuh kesedihan.

Jefri terbangun dari tidurnya. Ia begitu terkejut melihat kehadiran putrinya itu disana. "Cindy," cicitnya dengan lemah dan sedih.

"Cindy.. akhh," Jefri melenguh rasa sakit di dadanya. Membuat Cindy langsung melepaskan pelukan itu.

"Papa," ucap Cindy tapi suaranya tidak terdengar.

"Kemana saja kamu, nak? Kenapa baru pulang?" Suara Jefri begitu lemah.

Cindy menangis sambil mengusap air matanya. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan sang papa. Papanya akan syok jika ia menceritakan segala yang sudah terjadi. Itu tidak mungkin.

"Pak," bi Narti pun angkat suara. "..nanti, kalau bapak udah sembuh non Cindy bakalan cerita semuanya." Ucap bi Narti. Dan Cindy menganggukkan kepalanya cepat.

Cindy menatap wajah sang papa yang merengut menahan sakit. Tangannya ia taruh di dada, dan Cindy tidak tahu seberapa sakit yang papanya sedang rasakan.

"Pak, bapak mau kan, kalau kami bawa diam-diam ke rumah sakit? Bapak mau kan, ikut sama non Cindy? Non Cindy mau nyelamatin bapak. Seperti yang saya bilang sama bapak, nyonya Riris itu jahat." Ucap bi Narti.

Jefri menatap wajah putrinya. Ada kehancuran dan frustasi di raut wajahnya. Ia menggenggam tangan sang papa dengan erat, seakan memohon agar Jefri mau menurutinya.

"Kenapa..?" Jefri berusaha untuk mengendalikan emosinya sedemikian rupa. Ia tidak ingin, denyut di jantungnya semakin menyakitinya. Putrinya sudah semenderita ini, bahkan.. Jefri tidak tahu kenapa Cindy tidak bersuara. Ia pun menganggukkan kepalanya. Menyetujui apa yang Cindy minta, seperti yang sudah di jelaskan bi Narti.

Cindy berusaha menahan tangisnya itu. Ia menulis kata di notesnya dan menunjukkannya kepada sang papa. "Tunggu aku, papa. Tetap bertahan sampai aku datang."

Jefri pun menganggukkan kepalanya. Dimana Cindy kembali memeluk sang papa dan mencium kedua pipinya dengan air mata yang berjatuhan.

Akhirnya, Cindy pun pergi dari rumah itu. Ia tidak bisa berlama-lama disana, karena tidak ingin ketahuan.

"Gimana, non? Non udah dapat bantuan biar kita bisa bawa bapak segera?" Tanya bi Narti. Saat ini, mereka sedang bersembunyi di tempat tadi malam mereka bertemu.

Cindy pun menggelengkan kepalanya. Jalan Cindy buntu. Ia tidak memiliki kerabat dekat atau pun jauh, yang mungkin bisa membantunya menculik sang papa.

"Bibikkan udah bilang, non. Non Cindy lapor polisi aja. Biar polisi yang urus dan bantu kita." Saran bi Narti. Tetapi Cindy langsung menggelengkan kepalanya.

Erik nama pria itu terlintas dalam hatinya. Erikkan nggak tahu kalau aku tahu tentang perselingkuhannya. Dia pasti bisa nolong aku. Aku akan pura-pura, kalau nggak terjadi apapun batin Cindy.

"Erik. Aku bisa minta bantuan sama Erik, bi." Begitulah yang Cindy tuliskan disana. Membuat ekspresi bi Narti berubah seketika.

"Enggak usah, non." Jawab bi Narti menggelengkan kepalanya. Membuat Cindy menautkan alisnya menatap bi Narti.

Cinderella Escape || Panji ZoneWhere stories live. Discover now