8. Kebimbangan

5.3K 526 15
                                    

Aku menatap pria yang ada di sampingku, Mahesa. Ia sedang mengendarai mobil dan aku duduk di kursi penumpang. Tadi, ia bertanya padaku dimana rumahku. Agar ia bisa mengantarkanku. Tetapi aku langsung menggelengkan kepalaku, tidak ingin kembali ke rumah.

Begitu baiknya dia, menawarkanku agar tinggal dahulu di rumahnya. Tanpa sungkan, aku langsung mengiyakan. Setidaknya, malam ini aku punya tempat untuk berteduh, tempat untuk beristirahat dan memikirkan apa yang akan ku lakukan kedepannya.

"Ini rumahku, nggak usah sungkan," ucapnya menatapku dengan tatapan iba. Aku pun mengangguk pelan. Setidaknya, aku masih beruntung bisa bertemu dengannya.

Ia membawaku memasuki rumah itu. Dengan kaki yang berjalan tidak sempurna karena keseleo akibat kecelakaan kemarin, aku pun mengikuti langkahnya. Di sana, aku bertemu dengan asisten rumah tangganya bernama bi Asih. Ia menatapku heran, tetapi bersikap ramah terhadapku.

"Hari ini kamu istirahat dulu. Besok kita akan langsung urus masalahmu. Oke?" Ucap Mahesa padaku.

Ia mengerti apa yang ku pikirkan. Aku pun tersenyum sambil mengangguk. Entah bagaimana aku harus berkata terima kasih padanya. Aku sangat ingin, tetapi suaraku belum juga kembali.

Bi Asih mengantarkanku ke kamar tamu. "Ini kamarnya, non Yana," ucapnya padaku.

Aku pun menganggukkan kepalaku, sebagai ucapan terima kasih pada bi Asih. Tetapi, caraku malah membuat bi Asih menatapku.

Apa dia berpikir bahwa aku ini sombong? Tanyaku dalam hati. Aku hanya.. aku sedang.. kehilangan suaraku ucapku dalam hati.

Dengan hati-hati, bi Asih bertanya, "non, maaf, non nggak bisa ngomong ya?"

Ingin sekali aku menangis. Aku tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tetapi takdir menyeretku seperti ini. Dengan sedih, aku pun menganggukkan kepalaku. Mengakui bahwa kini, aku tidak dapat berbicara.

"Ah, begitu," ucapnya menatapku iba.

Ada rasa sedikit canggung di antara kami berdua. Keheningan itu pun tercipta seketika. Tetapi, bi Asih berusaha memecah keheningan.

"Non, lebih baik mandi dulu. Biar saya siapkan makan siang." Ucap bi Asih dengan ramah.

Aku pun menarik kedua sudut bibirku. Kemudian menganggukkan kepalaku menjawab ucapannya. Lalu bi Asih bergegas keluar dari kamar itu.

Aku duduk di ranjang. Ku raih ponselku, lalu ku dial nomor papa. Tetapi sayang, nomor papa masih tidak dapat di hubungi.

Aku menghelakan napasku dalam. Aku harus bersabar. Ini ujian untuk hidupku. Mungkin memang harus seperti ini dahulu. Aku yakin, pelangi yang indah akan segera tiba setelah hujan badai ini.

...

Aku dan Mahesa duduk di ruang tamu kediamannya. Saat itu, langit telah di selimuti oleh malam.

Aku menatap Mahesa. Dia sosok pria baik. Dengan melihatnya saja, kamu pasti tahu bahwa ia sangat baik. Bertanggung jawab dan jujur.

Berbeda dengan Erik. Kelihatannya saja baik dan penyayang. Tetapi tidak punya pendirian dengan menjadi penghianat.

"Jadi, kemarin kamu bilang, mamamu di bunuh sama mama tirimu?" Tanya Mahesa dan aku langsung menganggukkan kepalaku dengan antusias.

"Kamu punya bukti?" Tanyanya dengan alis terangkat. Membuat aku terdiam seketika.

Aku langsung tertunduk dengan sendu. Kemudian menggelengkan kepalaku dengan lemah. Ya, aku tidak memiliki bukti. Tidak sama sekali.

Mahesa berdecak lidah dan mengenyam mulutnya. "Terus, kenapa kamu bisa bilang kalau mama tirimu  yang udah ngebunuh mamamu?" Tanya Mahesa yang sepertinya mulai tidak yakin padaku.

Cinderella Escape || Panji ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang