10. Tak Tahu Arah

4.4K 506 19
                                    

Aku menghelakan napasku dalam, menahan getir perasaan ini. Entah apa dosa yang telah kuperbuat, sampai aku harus mengalami derita seperti ini. Seakan aku tidak di izinkan untuk hidup tenang walau hanya sehari.

Dan sekarang, disinilah aku. Berjalan tanpa tujuan di barat kota ini. Berjalan di dunia yang begitu kejam, yang terus saja membuat luka di hatiku semakin menjadi.

Aku berhenti di sebuah warung makan kecil. Di atas bangku lusuh warung itu, aku duduk dan melepas tas dari punggungku.

Seorang wanita paruh baya datang menghampiriku. Ia tersenyum manis padaku. "Mau makan apa neng?" Tanyanya.

Aku mengangkat alisku. Aku hendak berbicara, tetapi memori otakku langsung mengingatkanku. Ah, aku masih belum bisa berbicara.

Aku lantas beranjak dari dudukku. Menunjuk lauk yang aku pilih sebagai pendamping makan siangku.

Tatapan wanita itu sungguh aneh kepadaku. Mungkin dalam pikirannya ah dia bisu. Mungkin juga, di hari yang akan datang akan semakin banyak tatapan seperti itu yang akan datang kepadaku.

Ku edarkan pandanganku ke sekitar. Kemudian aku menghelakan napasku. Baru kali ini aku makan di tempat seperti ini. Duduk sendiri tanpa memiliki teman disampingku.

Aku sungguh tidak berselera untuk makan. Hatiku terasa kosong. Dan pikiranku terus menerus di serang kecemasan akan detik yang akan datang. Kemungkinan-kemungkinan buruk, terus menyerang isi pikiranku.

Saat aku sedang menikmati makananku dengan tidak minat, pendengaranku mendengar suara seorang pria di belakang sana.

"Gimana?! Mana suami lo?!" Suara pria itu terdengar kasar.

Aku menoleh sejenak ke belakang, dan ku dapati tampang seram seorang pria yang tampaknya mungkin preman setempat berdiri disana. Berbicara dengan pemilik warung.

Ada bekas carut dikeningnya. Rambutnya berantakan tidak terawat. Dagunya terlihat kotor dengan bulu-bulu kecil yang tumbuh disana. Tatto di lengan kirinya, menerangkan bahwa ia memang seorang preman.

"Aku nggak tahu, bang. Dia nggak pulang-pulang ke rumah. Bener, bang." Ucap wanita itu dengan nada suara yang terdengar bergetar.

"Hah! Nggak usah bohong lo! Gue tahu, lo pasti nyembunyiin suami lo! Udah gue peringatin, jangan berani-beraninya lo macam-macam sama partai. Suami lo udah kasih hati minta jantung!"

"Enggak bang.. enggak.. aku berani sumpah. Aku nggak tahu dia sekarang ada di mana. Udah seminggu dia nggak pulang ke rumah."

"Gue bilang jangan berbohong!" Pria itu membantingkan telapak tangannya dengan keras di atas meja. "Bos udah habis kesabaran lo buat! Udah di bantu, lo sama suami nggak tahu di untung! Gue nggak mau tahu, sekarang suruh suami lo menghadap gue!"

Mereka terus saja berargumen. Si pria terus marah-marah dengan lantang dan si penjual warung terus saja memohon belas kasihan.

Suara pria itu terdengar semakin murka. Membuat kudukku berdiri seketika. Dari pada aku terjebak di warung ini dengan permasalahan mereka, lebih baik aku pergi saja dan menghindari masalah.

Aku lantas beranjak dari dudukku. Ku hampiri si penjual warung untuk bertanya berapa biaya makananku.

Dia menatapku. Tatapan matanya sulit di artikan. Keningnya yang mengkerut itu menandakan bahwa dirinya sedang berpikir.

"Dua puluh ribu." Ucapnya padaku.

Aku pun menyerahkan uang padanya, dan langsung buru-buru pergi dari tempat itu. Mengabaikan tatapan preman yang ada di hadapan penjual warung itu.

Aku berjalan menjauh dari warung. Sembari berjalan aku berpikir akan kemana saat ini.

Ah, iya. Papa sedang ada di Bandung. Jika aku ke Bandung, aku bisa bertemu dengan papa pikirku.

Namun sedetik kemudian, aku menggelengkan kepalaku. Bagaimana aku bisa bertemu dengan papa kalau papa saja tidak bisa di hubungi. Pergi ke Bandung pun pasti akan percuma.

Aku menghelakan napasku dalam. Aku kehilangan arah saat ini. Apa aku kembali ke rumah saja? Tidak. Aku tidak ingin kembali ke rumah. Terlalu banyak duka disana.

Aku menepuk jidatku pelan saat aku mendapat sebuah ide. Aku akan ke kantor papa. Aku akan minta pegawai papa untuk menghubungi papa. Sementara papa belum pulang, aku akan menginap di hotel.

Ah akhirnya ku dapat jalan ini. Tanpa buang waktu, aku pun bergegas untuk mencari taksi. Aku akan ke kantor papa dan mencari bantuan di sana.

Namun, saat aku sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari taksi, tiba-tiba.. seseorang mendekapku. Membekap mulutku dengan sebuah kain dengan aroma yang menyengat.

Lepas! Lepas! Teriakku dalam hati.

Aku berusaha berontak, menggeleparkan tubuhku sebisaku. Tetapi tubuh orang itu begitu besar dan tenaganya sungguh kuat. Aku yang lemah ini kalah kuat darinya. Kepalaku pun langsung terasa sakit dan detik itu juga, aku pingsan dan tidak sadarkan diri.

...

Author pov

Air mata mengulas lembut di pelipisnya. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Kepalanya pun terasa berdenyut memikirkan setiap masalah yang sedang bertubi menimpanya. Dialah Lia, sahabat Cindy yang telah mengkhianati Cindy.

Belenggu tidak hanya bersarang di hati Cindy seorang. Tetapi belenggu juga sudah merajai perasaan Lia. Ia tersesat akan perasaannya sendiri. Dan sekarang ia mendapat imbas dari segala ketersesatannya itu.

Semua orang kini sudah tahu akan aibnya. Para tetangga, kerabat dan teman-teman di kampus menggunjingnya. Memandang dirinya dengan begitu rendah. Seakan Lia adalah benalu bagi dunia ini.

Sakit hati Lia tidak hanya sampai di situ. Saat ia dan keluarga mencari tahu siapa biang kerusuhan yang terjadi di rumahnya malam itu, Lia harus menelan kenyataan pahit bahwa nyatanya orang tersebut adalah Cindy. Sahabatnya sendiri. Dan parahnya, Cindy menangkap basah mereka berdua.

Lia memejamkan matanya erat. Ingin menghilangkan semua bayang-bayang yang menyiksa ini. Tetapi segalanya tidak dapat ia hindari meski saat tidur sekali pun. Kenyataan bahwa Cindy saat ini kabur dari rumah pun, semakin membuat isi pikirannya bertumpuk. Rasa bersalah dan malu itu, begitu kuat menyelimuti dirinya.

Di tambah lagi, Lia menyaksikan bagaimana rasa hancurnya hati Erik yang memohon di depan gerbang rumah Cindy. Itu sungguh membuat perasaan Lia merasa ikut hancur.

Harusnya aku tahu, kalau perasaan kakak nggak pernah berubah sama Cindy. Sekali pun aku udah kasih segalanya, tetap aja.. aku cuma cadangan.

Hari itu Lia pulang dengan perasaan yang semakin hancur. Aibnya sudah terbongkar, sementara sang kekasih tidak menganggapnya sama sekali. Sementara sang kekasih, menangis untuk orang yang begitu ia sayangi. Lia menangis, meratapi segala yang sudah terjadi.

Bola mata Lia seketika bergerak saat ia baru sadar bahwa sedari tadi, ponselnya terus berdering. Dengan kepala yang terasa berat, Lia pun bangkit dari rebahannya. Ia mengusap pipinya dari jejak air mata, kemudian mengambil ponselnya.

"Nomor siapa ini?" Gumamnya melihat nomor yang tidak di kenal terpampang di layar ponselnya.

"Hallo," jawab Lia dengan suara seraknya itu.

"Lia, ini saya papanya Erik." Suara itu terdengar bergetar. Membuat jantung Lia seketika terasa panas karena was-was. "Erik.. Erik sudah tiada."

......
Erik meninggal? 🤔
Why?

Perlu backsong lagu "kumenangis" nggak sih? 😂

Jangan lupa vote dan komen ya.
Makasih 💜

Cinderella Escape || Panji ZoneWhere stories live. Discover now