4

7.6K 868 32
                                    

Tap your star! 🌟
















Saat langit sore keorenan itu menguasai langit di atas rumah sakit kala itu, suasana yang menemaninya berjuang antara hidup dan mati memperjuangkan seorang bayi kecil yang lahir dari dalam rahimnya. Edrea tau semua yang terjadi padanya diusia belia itu memang tak sepatutnya salah Javnan anak lelaki satu-satunya. Yang ia kurung dalam jeruji kemarahan dan kebenciannya pada semesta.

Maka dari itu, meski kini tangannya telah memegang kunci sampai memutarnya diganggang pintu, tangannya masih enggan membuka kayu pipih berdebu dihadapaannya. Meski ia begitu sadar begitu mengganggunya suasana di dalam, kotor dan bau, apa lagi untuk Javnan. Ia sudah terkurung lebih dari 8 jam dan Edrea yang dari tadi bertarung dengan egonya hingga bayangan Javnan yang ditemukan tak bernyawa menghantui tidurnya. Ia tidak ingin di tuduh pembunuh.

Pintu cokelat usang itu terbuka, cahaya remang dari luar mendesak masuk menguasai ruangan. Secercah cahaya itu memaparkan seenggok tulang dengan daging tipis terkulai diatas lantai kotor juga seragam kotornya. Nafasnya memberat, sesekali terbatuk, mungkin tersedak debu. Berkali-kali Edrea menepis perasaan simpatiknya, sesuatu terus menanamkan kata-kata 'dia yang sudah menghancurkan hidupmu, kamu kasihan??'

"Heh!" Edrea menendang punggung ringkih yang membelakanginya pelan, namun tidak ada pergerakan yang berarti. Edrea jadi sedikit panik.

Ditendangnya sekali lagi, "Heh!"

"Eugh... Eh, Bunda," katanya. Ia membangunkan badannya dengan susah payah. Meski senyum yang ia paksa terpatri, Edrea tau jika cowok itu tengah kesakitan. Tanpa tau, ada yang lebih sakit di dalam sana.

"Mumpung saya lagi baik, cepat keluar dari sini dan bersihkan badan kamu. Saya Gak mau melihara orang yang kotor," Edrea melempar kunci gudang yang mendarat mulus di tangan Javnan.

"Kunci tempat ini sekalian."

Javnan mengangkat wajahnya, menyatukan netra kelamnya dengan milik sang ibu tanpa lupa tersenyum mengisyaratkan jika ia baik-baik saja walaupun ia sudah tau persis bila Edrea tidak akan peduli.

Di kegelapan yang samar ini, Edrea dapat melihat jelas pucat juga luka-luka lebam dan darah di wajah Javnan yang perlu segera di obati. Tapi setan dari mana, ia malah melenggang meninggalkan darah dagingnya yang sudah hancur berkeping-keping diruangan gelap dan pekap ini.

"Makasih, Bunda," katanya, sempat membuat langkah Edrea memelan sejenak setelah itu pergi hilang di telan sekat.

Tinggal Javnan, luka, juga gelap. Ah, juga kunci gudang pemberian sang Bunda. Meski bukan bentuk kekepedulian, melihat Ibunya membukakan kurungan pekap ini untuknya sudah lebih dari cukup. Karena bagi Javnan, menghirup udara yang sama dengan sang Bunda dan tinggal di atap yang sama sudah lebih dari cukup.

















"Yakin lo gak kenapa-napa?" tanya Arya yang udah nangkring asik di atas kursi kantinnya. Ditemani semangkok kuah soto yang dia masukan satu bakwan.

"Kenapa sih lo, gak sekali lo kesekolah babak belur gini. Perasaan kemaren gak separah ini," sahut Juna tak kalah bingung.

Javnan menegak es jeruknya sekali lalu meringis kesakitan, "Udah gue bilang, di gebukin preman ngapa cerewet amat sih lu pada."

"Ini gue minta bayarin lu dulu, Jun. Abis gue dirampok," lanjutnya.

"Nyokap lo gimana?" tanya Arya yang paling khawatir setelah melihat kondisi Javnan pertama kali.

"Ya, marah. Ya gapapa."

"Bukan karena si Rendi itukan?" tanyanya lagi.

"Enggak, udah tenang aja. Lanjut makan dah. Gue gak papa ini udah di obatin, nanti ke UKS kalau sakit lagi."

The Way I Live ✔ Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz