12

6.4K 726 26
                                    

Tap your star! 🌟









Setelah beberapa tahun berlalu, Javnan anak-anak yang tanpa henti menanyakan 'apa arti hidup?' di setiap tahunnya. Dan hanya mendapatkan jawaban yang tidak pernah Javnan rasa puas dari Mbak Dewi, muncul pertanyaan baru dari dalam diri Javnan, entah siapa yang akan menjawabnya karena Javnan enggan bertanya pada siapapun.

Dari masih kecil, Bunda selalu tak tergapai. Setiap Javnan berusaha merengkuh Edrea, mencoba masuk ke dalam dunianya atau mencoba menarik Edrea lebih dekat, nyatanya ada perisai kuat tak tertembus yang menghalau Javnan meraih Bundanya. Nyatanya ada benteng panjang yang di bentangkan sang Bunda agar si kecil Javnan tidak dapat menyentuhnya barang secuilpun.

Meski dalam bingungnya, Javnan masih begitu mencintai wanita yang melahirkannya. Karena di gelapnya hidup yang ia tempuh, Edrea adalah cahaya yang Javnan percaya untuk keluar dari gelapnya.

Javnan gak pernah sadar dan gak akan mau percaya, bahwa selama ini yang mendekapnya di kubangan kegelapan adalah Edrea, sang Bunda. Wanita yang ia puja. Namun meski demikian, ia tetap akan mencintai Bundanya, pusat dari dunianya.

Maka disaat jatuh dalam gelap, Juna dan Arya ada disana. Memberi cahaya di kejauhan, menumbuhkan rasa percaya Javnan pada dunia, bahwa dunia masih memihaknya. Membuat Javnan masih memijak bumi, meski dengan membohongi diri sendiri.

"Juna!!" panggil Javnan saat memasuki koridor kelas 11 dan rupanya Juna juga ikutan terlambat dan berbaris di jajaran murid yang telat.

Ada yang lain hari ini. Juna bukan Juna yang cerewet, yang akan balas menyapannya meski dengan wajah kesal ciri khas Juna. hari ini, ada yang Javnan lewatkan dari Juna. Dia cukup pendiam setelah berdiri hampir 10 menit di samping Javnan.

Meski pikirannyapun kini tengah berlayar jauh, namun diamnya Juna berhasil mengusik ketenangan Javnan.

"Juna?"

"Artajuna?"

"Sayang?"

Javnan menghela nafas gusar, "Frans!" Javnan nyengir lebar, asem! Pas manggil pakai nama bapaknya nyaut si Juna.

"Apa si!" Juna membalas sengit. Tuhkan, ada yang gak beres.

"Kenapa? Kok lo telat?" Juna melirik Javnan sekilas tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali.

"Bisa diam aja gak?"

Javnan mengengernyitkan dahi, merasa bingung dengan sikap Juna pagi ini. Benar, pasti ada sesuatu yang gak beres. Karena hari ini sikap Juna aneh banget.

"Kenapa sih, Jun?"

"Ngomong dong kalau ada masalah, lo tuh bukan tipe yang diam-diem kayak gini, jangan sembunyiin."

"Lo sendiri kayak gimana?" ketus Juna. matanya tetap fokus ke guru piket yang masih menceramahi.

Javnan diam, gak ada yang salah dari perkataan Juna, hanya saja, "Lo kenapa sih? Aneh lu hari ini."

"BU, JAVNAN AJAK SAYA NGOMONG!"

Hasil dari aduan Artajuna tadi, di sinilah Javnan, berdiri didepan tiang bendera. Sial banget, kenapa pakai acara cerah segala? Jam menunjukan pukul 9 pagi, tapi matahari sudah seterik ini. Javnan menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, menyesal tidak sarapan tadi pagi, alhasil perutnya yang kosong sejak tadi malam mulai berulah.

Javnan melepas tas yang masih tersampir dipunggungnya, membuangnya asal ketepi lapangan, mengibas-ngibas lehernya dengan telapak tangan, pantang melepas jaket abu-abunya meski panas yang menusuk nyaris membakar kepalanya.

"Anjir, bisa banget apes gini hidup gue," keluhnya asal.

Sedangkan Juna yang mengintip di balik jendela kelas menghela nafas kasar. Kata-kata Rendi yang terngiang di kepalanya, seperti kaset rusak yang memekakan. Sebuah fakta yang gak akan pernah mau Juna dengar dari orang lain.

The Way I Live ✔ Where stories live. Discover now