10

6.9K 781 56
                                    

Tap your star! 🌟

In mulmed: Trying My Best- Anson Seabra.















Javnan menggaruk pelipisnya dengan gerakan lambat. Matanya memandang kertas-kertas berisi soal-soal olimpiade fisika tahun lalu dengan bimbang. Tadi pagi-pagi, guru fisikanya datang kekelas dengan khusus untuk memanggil Javnan keruangan kepala sekolah sehabis istirahat pertama. Terpilihnya ia sebagai perwakilan memang memberikan kesempatan bagus buat membuktikan kepada Dikta dan Edrea, namun juga akan menyita waktunya lumayan banyak. Mendengar cerita salah satu temannya yang kakaknya dulu menjadi perwakilan dan harus pulang terakhir dari siswa yang lain.

Pikiran Javnan melayang, menampilkan wajah gusar Dikta karena kedatangannya yang terlambat juga presensinya yang menipis dirumah. Bagaimana marahnya Dikta jika tau ia sering meninggalkan Edrea untuk persiapan olimpiade, karena Ayahnya bahkan tidak akan menerima alasan apapun.

Javnan menghela nafas lagi saat mengingat ekspresi Kepala Sekolah yang cukup nelangsa mengingat hanya dirinya yang memiliki kemampuan dibidang fisika yang mempuni, adapun siswa tersebut sudah berada di kelas akhir dan fokus untuk ujian kelulusan.

"Gimana, Nan. Ambil gak?" Juna yang awalnya mengantar dan menunggu Javnan lalu pamit kekantin untuk membeli sekantong espun akhirnya datang sembari menepuk punggung Javnan pelan.

"Akh!" Javnan terkesiap, spontan menegak meraba punggungnya. Punggungnya sakit, ah, tubuhnya sakit. Bahkan hanya disentuhpun rasanya perih.

"Maaf, Nan," Juna memegang tangan Javnan dengan wajah tak enak hati.

"Gak apa," kemudian matanya kembali lagi pada tumpukan kertas soal tangan dengan batin tertekan, nyatanya meski ia masih bimbang, ia tetap menerima tawaran itu.

Salahkan sikapnya yang terlalu baik, salahkan Javnan yang terlalu memikirkan orang lain sampai lupa memikirkan dirinya sendiri.

"Kasian juga sama Pak Johan. Gak tega gue nolak," Javnan mendengus lalu menatap Juna dengan senyum lebar yang ia paksakan hadir.

"Gue ambil," katanya kemudian mendahului Juna yang mengekor di belakang.

"Kalau keteteran, jangan di ambil. Tubuh lo ini gak sekuat itu," nasihat Juna. Tak sampai hati membayangkan Javnan belajar dengan tubuh-tubuh penuh lembam.

Javnan enggan menjawab, memilih menelisik koridor yang ramai akan siswa yang berlalu lalang, "Arya mana?"

Juna menghela nafas, sahabatnya ini selalu menolak jika di ingatkan tentang kondisi tubuhnya, "palingan juga nyari makan. Ayo! Kalau udah kita ke kantin. Ingat ya, Jav, lo itu punya maag!" Juna mengangkat telunjuknya seolah mengajari Javnan yang baru masuk TK dengan nada ngegas khasnya.

Kalau sudah begini, Javnan cuma bisa mengangguk mengikuti tanpa bantahan apapun. Lagian perutnya juga udah kelaparan banget.

Di antara ketiganya, Javnan memang yang paling kecil, si bungsu. Javnan yang paling terakhir lahir di tahun yang sama dengan Juna dan Arya lahir. Juna yang lahir di pertengahan Maret, Arya yang lahir di awal April dan Javnan yang lahir di akhir September. Hal itu menjadikan alasan Juna dan Arya menganggap Javnan seperti adik mereka sendiri, selain paling muda, Javnan juga yang paling rapuh di belakang perangainya yang sok kuat itu.
















Javnan menaruh kopi capuccino favorit Edrea di atas meja kerja Edrea yang tengah sibuk berkutat dengan laptopnya. Mengbaikan presensi laki-laki 16 tahun yang hidup serumah dengannya selama ini. Mengabaikan mata sayu yang meredup kehilangan cahaya yang kini menatapnya penuh rindu.

Pemuda itu memilih duduk di sofa dekat balkon, meski ia tau sebentar lagi sang Bunda akan menginstrupsi untuk keluar segera dengan kasar. Namun, sudah 5 menit berlalu, Edrea masih membungkam karena sibuk bergelut di depan laptop.

The Way I Live ✔ Where stories live. Discover now