13

6.4K 740 48
                                    

Tap your star! 🌟


















Javnan berjalan sendiri menyusuri koridor yang telah sepi, meski bukan hanya dirinya yang dapat pelajaran tambahan untuk olimpiade, ia tetap berjalan sendiri menuju gerbang sekolah. Setelah nyaris kehilangan nafsu makan saat Arya hanya diam di depannya, aura dingin sekaligus panas menyeruak dalam diri Arya, mengutuk Juna yang begitu mudah di tipu dan di hasut, membuat indomie sumur di hadapan Javnan tak lagi terasa enak baginya.

Hari ini lumayan melelahkan, dari pagi hingga kini masalah beruntun menimpanya dalam 12 jam tanpa henti. Javnan menghela nafas, sesial inikah garis takdir yang Tuhan ciptakan untuknya?

Bahu Javnan tertunduk lesu, bahkan sampai kakinya menyentuh trotoar rasanya sudah begitu menyebalkan. Memilih tidak menumpang angkot untuk hari ini, Javnan ingin menyiksa dirinya sekali lagi dengan berjalan kaki kerumah dengan kepala pening juga pikiran yang bercampur aduk. Ia bertaruh, sekalipun preman menghalangi jalannya, Javnan terlalu lesu meladeni dan segera menyerahkan uang ratusan ribu didepan wajah mereka.

Sedan hitam tiba-tiba berhenti di samping Javnan, mengikuti jalan pelan Javnan hingga jendela mobilnya terbuka dan menampakan pria paruh baya yang tengah mengintip dari sana.

"Javnan!" panggilnya.

Javnan menoleh, mendapati Dikta yang tengah memakai setelan kemeja hitam senada dengan mobilnya, sangat tampan. Ah, andai saja Javnan diperbolehkan untuk pamer jika ia memiliki Ayah super kaya dan tampan, lebih dari itu ia sangat ingin bercerita tentang keseruan liburan bersama Ayah, seperti yang Juna dan Arya ceritakan setelah liburan semester.

Javnan mengembangkan senyumnya, dan Dikta justru membuka pintu mobil menyuruh Javnan untuk masuk dan duduk di sampingnya.

Meski bingung, Javnan memilih langsung masuk dan duduk tanpa banyak bicara. Kepalanyapun tengah dimasuki berbagai macam kejadian yang membuatnya malas berfikir atau sekedar membuka obrolan dengan orang yang sangat ingin ia ajak berbincang sejak dulu.

Tanpa banyak obrolan yang berarti, merekapun melesat pergi dari perkarangan sekolah. Javnan menoleh keorang disebelah kanannya yang sedang fokus menyetir, mencoba membaca situasi atau mood sang Ayah, takut di bawa pergi ke panti asuhan yang jauh dari kota.

Javnan menghela nafas, memilih memalingkan wajahnya kejendela mobil, mencoba membawa kembali pikiran positifnya, menata kembali hatinya yang tengah berantakan. Hari ini juga melelahkan, apa jika ia tidur sekarang, di sini, dimobil Ayahnya, akan ada yang terjadi?

Namun tetap saja rasa lelah terus menariknya ke alam bawah sadar. Namun belum juga terlelap sepenuhnya, Javnan teringat sesuatu, dengan segera ia membuka tasnya membawa kotak kecil itu keluar dari dalam saku kecil tas sekolahnya.

Dikta melirik sekilas, kelihatan tidak tertarik dengan apa yang tengah Javnan lakukan.

"Happy father day!" Javnan mengangkat kotak kecil itu ke samping, dan tidak dapat dibohongi, Dikta terkejut dan sedikit tersentuh.

"Apa ini maksudnya?"

Javnan terkekeh, menaruh hadiah hari Ayah itu di dalam laci mobil dengan senyum merekah, "Tadinya mau aku kasi lusa, pas hari Ayah. Cuman, aku takut harinya gak pas, pas banget hari ini mood Ayah bagus, aku dijemput pulang lagi," Javnan terkekeh pelan, menyembunyikan gugup yang kini mengguyur seluruh tubuhnya.

Terserah, Dikta mau menerimanya ataupun di buang sekalipun. Bagi Javnan, ini adalah bentuk usahanya mengambil hati sang Ayah.

Diam-diam, Dikta tersenyum tanpa sepengetahuan Javnan, anak itu sibuk mengomel dan saat Javnan menggeleng menatap Ayahnya, membuat Dikta segera mengontrol ekspresinya.

The Way I Live ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang