14 (b)

6.2K 700 21
                                    


Dan disinilah raga kurus Javnan berhenti. Di halte bus seorang diri, dengan angin malam yang mampu membuatnya kedinginan karena hanya di lapisi jaket abu-abunya yang tidak begitu tebal.

Javnan menghela nafas lelah, menatap bulan yang samar tertutup awan juga di selimuyi bintang-bintang seolah mengejek kesendirian Javnan juga nasibnya yang diusir dari rumah. Rumah yang tidak pernah menjadi hangat dan candu seperti anak lainnya. Rumah yang terasa begitu dingin mengalahkan kutub utara.

Hingga bus tujuan berhenti dan membawa langkahnya masuk dan duduk di bangku terakhir. Seperti dugaan Javnan dari awal. Hanya ada dua orang di dalam bus, hanya ada dirinya dan bapak-bapak paruh baya yang duduk di dekat pintu.

Javnan menatapi jalanan yang masih saja padat meski larut malam, bahkan nyaris pagi. Javnan menghela nafas panjang. Rasanya semua orang marah, semua orang menjauh, semua orang ingin membuangnya, rasanya hidupnya tidak berharga sama sekali.

Javnan lelah mengerti.

Lalu bolehkah kali ini, giliran ia yang marah dan hilang sejenak dari radar.

Diraihnya ponsel yang bersarang di saku celanannya kemudian mematikan daya ponsel hingga hanya hitam yang kini dapat terlihat.






Javnan melangkahkan kakinya menuju pasir yang panjang, berdampingan dengan air laut yang sejuk.

Bukankah pantai memang tempat yang pas untuk bunuh di--, maksudnya menenangkan pikiran. Jujur saja, jika memikirkan pantai, Javnan selalu membayangkan opsi pertama. Maka entah mengapa saat langkah ringannya membawanya masuk ke dalam bus yang memiliki tujuan pantai. Javnan sendiri tidak habis pikir, mungkin alam bawah sadarnya membutuhkan ketenangan.

Javnan tidak tau pasti berapa lama ia ketiduran di tepi pantai dengan hawa sedingin ini. Yang ia lihat, matahari sudah menunjukan dirinya. Bersiap berganti tugas dengan sang bulan. Ia hanya meilih duduk, menatap lurus ke depan, mengemati pergerakan ombak yang mendekat.

Menatap cukup lama hingga matahari hampir muncul setengah dari ujung laut. Javnan berdiri, berjalan mendekat ke bibir pantai hingga sepatunya basah, kemudian ujung celana, berjalan lebih jauh hingga air pantai memakan kakinya hingga lutut. Tangannya menggempal, menahan gejolak sesak yang hinggap di hatinya. Ia mencoba meraup udara sebanyak mungkin, mencoba mengisi rongga paru-parunya dengan banyak udara, berharap sesak menyakitan ini cepat berakhir.

Javnan menggeleng pelan, sembari menghapus pelan jejak basah dipipinya. Kemudian mundur dengan cepat kembali kebibir pantai. Ia tentu belum siap di temukan mengambang di tepi pantai oleh orang-orang. Sangat tidak rela mati sia-sia, ia belum mendapat cinta sang Bunda juga Ayah yang ia tunggu sejak lama. Ia tidak boleh menyerah segampang ini.

"HOIII!!! BUNDA SAMA AYAH BAKAL SAYANG JAVNAN KAN?!!" Javnan berteriak sekuat tenaga. Dan yang ia tau, ombak menjawabnya dengan lantang pula, angin bahkan bertiup makin kencang.

"KALAU GUE NYERAH..." Javnan memberi jeda, deru ombak terus mengetuk gendang telingannya, seolah memberi instrumen pada setiap kata yang ia teriakan, "LO BOLEH MAKAN GUE!"

"Tapi masalahnya...GUE GAK AKAN NYERAAAAAH!"

Javnan tersenyum puas. Dengan berteriak, rasanya lebih lapang. Tidak semenyesakkan tadi. Dan ia harap, pesannya sampai pada Tuhan. Ia harap ombak, mentari juga burung-burung yang mengitari kepalanya menbawa doa yang ia rapal pada Tuhan.


"Javnan kok belum datang sih? Terlambat ya?" Juna meraih ponselnya di dalam tas, mencoba menghubungi seseorang yang hari ini belum kelihatan batang hidungnya.

"Lo udah jelasin belum kedia? Soal Rendi," Arya membawa tasnya maju, menggantikan kursi Javnan yang kosong.

"Belum, rencananya semalem..cuman kayaknya doi udah tidur....ck! masih gak aktif ponselnya!"

Arya mengernyit bingung. Tidak biasanya Javnan terlambat, lalu ponselnya mati. Javnan selalu mengecas ponsel saat akan tidur, maksudnya saat pagi ponselnya sudah terisi penuh. Iapun selalu membuat sarapan untuk Bundanya, dan datang awal seperti biasa.

Hingga jam pelajaran kedua dimulai, Javnan belum muncul juga dari manapun. Membuat Juna nyaris hilang akal karena cemas dengan cowok bermata hitam kelam itu.

"Pulang sekolah kita susulin aja kerumahnya," final Arya. Karena kini, ia benar-benar cemas dengan Javnan, takut sesuatu terjadi dan yang Arya pikirkan saat ini adalah sesuatu yang buruk.









Sorry gais part ini emg g jelas :vvv

Sun. May. 3
-HR

The Way I Live ✔ Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora