8

6.8K 775 26
                                    

Tap your star! 🌟





















Javnan termenung di depan cermin, menatap luka-luka lembam yang bersarang manis di wajahnya. Melirik jam weker biru di atas meja yang menunjukan pukul 5 pagi.

Mendengus kesal karena bingung, antara pergi sekolah atau tetap dirumah untuk sementara waktu, karena lukanya kini bisa dibilang parah. Javnan bukannya mau mengistirahatkan diri juga, sih. Hanya saja, untuk sekarang ia menghindari pertanyaan menjebak dari teman-temannya mungkin lebih baik. Tapi akan lebih kacau jika dua monyet itu datang kerumah untuk memastikan keadaannya.

Javnan melompat mengambil handuk dan belari ke kamar mandi secepat kilat, mengabaikan rasa nyut-nyutan di pipi kanan kirinya.

Setelah siap, ia langsung turun menyiapkan sarapan untuk Bundanya yang sudah pergi bekerja hari ini.


Langkah Edrea memelan saat matanya menangkap presensi Javnan di meja makan sedang memoles roti dengan selai cokelat kesukaannya. Memandang punggung putranya yang terlihat ringkih dari atas sini. Edrea menyusuri setiap sela, kepala, punggung juga tangannya yang tertutup jaket abu-abu hadiah ulang tahun dari Dewi. Hatinya teremas sakit tak kala Javnan menaikan lengan jaketnya, memperlihatkan luka-luka bekas hingga terbaru yang ia dapat selama ini, hatinya mencelos merasa tidak suka.

Edrea mendekat, namun cowok itu belum menyadari kehadiran Bundanya yang sudah berada tepat di belakangnya, mengamati tengkuknya yang tak luput terkena luka ringan. Edrea menghela nafas, menarik kursi di samping anak itu dan mulai melahap rotinya.

Jantung Javnan nyaris pindah keperut saat Bunda tiba-tiba duduk di kursi sampingnya dan memakan roti yang baru ia oleskan cokelat. Javnan tersenyum kikuk, bingung harus berbuat apa, pasalnya Bunda gak pernah mau sarapan jika ia belum berangkat sekolah.

Javnan mengambil tasnya, berniat berangkat saja meski kepagian dari pada menggangu sarapan sang Bunda.

"Berangkat dulu, Nda,"

"Kamu gak kompres luka kamu, ya semalam?"

Javnan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Bundanya bingung.

"Eh?"

"Mau terlihat seperti anak yang dianiaya orang tuanya?" Javnan menggeleng cepat.

Meski dalam hati, Javnan terkekeh ringan.

Memang iyakan?

Edrea mengeluarkan sekotak plester ke hadapan Javnan.

"Saya belikan ini juga untuk reputasi saya, gak usah gede rasa!"

"Siap Bunda!"

Javnan membuka isinya, menempelkan beberapa ke luka kecil di wajahnya. Dan ya, memang terlihat lebih baik dari tadi. Javnan yang kesenangan itu sampai lupa menurunkan senyum saking bahagianya. Enggan memakai plaster dari kotak ini lagi, karena baginya plaster ini bentuk kepedulian Edrea untuk Javnan.

Meskipun dia gak tau kapan Bunda meninggalkan rumah dan membeli sekotak plaster ini, Javnan terlalu tidak peduli, rasa sakit di seluruh tubuhnya seolah menguap entah ke mana, tenaganya kembali bahkan mendorong trukpun rasanya ia mampu.

Edrea mengangkat salah satu roti cokelat itu kehadapan Javnan, "Makan ini, jangan seperti--,"

"Makasih, Bunda," Javnan mengambil roti dari tangan Bundanya dengan semangat, hingga matanya menyerumulkan bintang-bintang. Cowok itu berbalik menuju pintu utama, dan sebelum ia hilang di balik pintu ia berbalik memandang Bundanya sekali lagi, "Bunda, Javnan sayang Bunda!! Sumpah demi Tuhan! Javnan sayang Bunda!!," teriaknya dengan penuh semangat lalu berlari dengan riang menuju sekolahnya.

The Way I Live ✔ Where stories live. Discover now