22

9.3K 787 64
                                    

Tap your star! 🌟









Edrea tidak tau, ternyata diamnya Javnan seekstrim ini. Setiap hari adalah penantian, meski Teri dengan jelas mengatakan bahwa Javnan hanya diistirahatkan total untuk membuat masa pemulihan lebih cepat. Tapi nyatanya tiga hari terasa seperti satu bulan dengan melihat putranya terbaring diranjang persakitan ditempeli alat-alat medis yang sangat ia pahami betul fungsinya.

Selama hidup dan disaat sakit demam, pilek atau flu biasa, Edrea tidak bisa membantu Javnan melewati hari beratnya. Baginya berada disekitaran anak itu sudah cukup meneyesakkan. Memori dimana ia melihat Javnan menyiapkan alat kompresnya sendiri, juga membeli obatnya sendiri terlintas begitu saja. Tuhan seperti sengaja mengingatkan dosa-dosa yang sudah ia buat.

Namun sekarang, melihat putranya yang tengah terbaring tidak berdaya dengan banyak diagnosa karena kelalaian orang dewasa juga hal yang ia terima dari ketiakadilan dunia barang satu detikpun Edrea enggan mengalihkan atensinya. Edrea takut Tuhan mengambil putranya sebelum ia meminta maaf, mengingat betapa mudahnya ia membalikkan hatinya, bukan hal susah untuk segera mencabut nyawa Javnan sekarang juga.

Edrea hanya ingin saat Javnan bangun nanti ia tau bahwa sekarang ia adalah orang paling berharga dalam hidup Edrea.

Pintu kamar terbuka, menampakkan Juan dan Dikta yang menyusul dibelakang membawa kantong kresek makan siang milik Edrea. Wanita itu benar-benar enggan meninggalkan tempatnya.

Juan masih marah. Itu yang Edrea tangkap dari ekspresinya yang ia lempar setiap retra mereka bertemu. Edrea sudah terlebih dulu meminta maaf, Juanpun katanya sudah menerima, namun sepertinya untuk mendapatkan kembali kepercayaan Juan memang tidak semudah dulu lagi. Kini dimatanya Edrea bukan adik perempuannya yang harus ia lindungi dari kejamnya dunia. Sekarang Edrea paham, dimata Juan ia hanyalah wanita dan seorang ibu yang tidak bertanggung jawab.

Juan masih memeriksa tanda vital pada tubuh Javnan, ia melirik adiknya sekilas dan menemukan adik kecilnya yang dulu begitu sibuk berkutat dengan buku tebal kini sudah menjelma menjadi wanita cantik yang sayangnya hari ini ia tengah kacau. Adik kecilnya yang dulu begitu lembut berubah menjadi sosok kasar untuk darah dagingnya sendiri.

"Javnan okey. Kita tinggal menunggu dia sadar, mungkin sebentar lagi," Juan berujar sambil mengalungkan stetoskopnya.

"Tulang rusuknya gimana, Mas?" tanya Dikta mendekat keranjang Javnan.

"Pendarahan diparu-parunya udah terkendali, patah tulang rusuk bisa sembuh sendiri dengan bantuan pain killer. Patah tulang rusuk bisa bikin Javnan sesak nafas karena pasti sakit banget, jadi harus dikasi pereda nyeri. Lambungnya juga udah okey, udah Mas kasih obat juga."

"Satu-satunya yang gak bisa Mas pastiin itu mentalnya. Kita harus nunggu dia pulih buat konsul ke psikolog," Juan dapat mendengar sang adik mulai terisak lagi, dia pasti menyesal. Dewi saja hanya datang dua kali selama ini karena tidak sampai hati.

"Kita gak tau berapa kali percobaannya buat menghilang dari dunia. Itu lebih bahaya dari pendarahan paru-paru kemarin," ujarnya sambil mengelus kepala Javnan dan keluar dari ruangan.

"Maafin Bunda..." tangis Edrea pecah. Juan seolah sengaja menancapkan sembilu dingin didadanya untuk mengundang sesak.

Meremat jemari sang putra sembari terus mengucapkan permintaan maaf. Dikta lagi-lagi harus menjadi penenang disaat hatinya ingin menguarkan penyesalan.











Saat siang menjelang sore hari. Saat dokter secara bergantian memonitor kondisi vital Javnan dan Juan yang berkali-kali mampir hanya untuk melihat keponakannya. Edreapun masuk bergantian dengan Dikta yang terpaksa menghadiri rapat mendadak di kantor. Pada dasarnya Dikta memang tidak bisa berlama-lama. Dewi juga keluar sebentar untuk membeli kopi di kantin Rumah Sakit.

The Way I Live ✔ Where stories live. Discover now