6

7.2K 729 46
                                    



















Bagi Javnan, menunggu Bunda dan Ayah menyayanginya gak semudah menunggu siang ke malam. Hal itu sudah pasti, beda lagi dengan situasinya.

Javnan bersumpah, jika ia membenci dirinya. Benci saat tidak bisa membalas perlakuan kasar sang Bunda, benci ketika hanya diam saja dipukuli Ayah, benci ketika tidak dapat melawan meski ia tau tidak salah. Benci karena ia sangat menyayangi Bunda dan Ayahnya

Orang lain berfikir mungkin Javnan sudah kehilangan akal atau mati rasa, karena meski di jatuhkan ribuan kali, ia akan tetap berdiri lagi meski tertatih-tatih. Karena Javnan sudah hilang, Javnan tersesat. Meski berjalan bersama kedua orang tuanya ia harus mengakui sebuah fakta bahwa ia ditinggalkan dan dilupakan.

Seperti saat ini, kedua orang tuanya sedang dirumah, namun Javnan kelaparan dan hampir maag. Cowok itu menatap ponselnya nanar, begitu penasaran bagaimana di ancam supaya gak usah pulang sekalian kalau gak pulang saat ini juga seperti Arya waktu mereka menghabiskan Minggu di mall sampai magrib, Ibunya nelfon berkali-kali meminta Arya pulang dan kalau gak pulang dia bakalan dikunci diluar. Pasti rasanya menyenangkan. Ada yang menunggumu dirumah.

Javnan menginjak teras rumahnya yang sedikit basah terkena hujan yang tidak berlangsung lama tadi. Mobil Juna sudah hilang dari depan pagar rumahnya, iapun segera masuk karena angin sore yang semakin dingin akibat hujan.

Diruang tamu, Dikta terduduk diatas sofa sembari memperhatikan kerjaan di laptopnya. Sebagai pemimpin perusahaan, Dikta sangat sibuk hingga tidak bisa lepas dari banyaknya laporan.

"Edrea sakit, kamu malah keluyuran. Gak tau diri," sarkasnya tanpa mengalihkan fokusnya keleptop.

"Javnan makan diluar sama temen, Yah. Bunda udah gak apa-apa?" Javnan mendekat, berniat mengambil tangan Dikta untuk menyaliminya. Mencoba tidak menghiraukan sinis yang tercetus dari bibir Dikta.

Namun, bukannya menyambut tangan Javnan, Dikta mengangkat kepalanya dan menyuruh Javnan membuatkan kopi, "Buatkan saya kopi."

"Siap bos!" sahut Javnan cengengesan, kemudian ngacir kedapur dan memasak air panas dengan pikiran yang malah melayang ke mana-mana.

Setelah membuatkan kopi panas untuk sang Ayah, Dikta meminta anaknya duduk di salah satu sofa. Javnan yang mendengar itupun mengambil kesempatan dan duduk di salah satu sofa dengan senyum yang gak luntur-luntur saking senangnya. Jarang-jarang Dikta mau dekat-dekat dengannya seperti ini.

Namun saat seperkian menit sunyi menguasai keduanya. Dikta menghancurkan hening tegang yang semula tercipta, menciptakan bunyi patah dalam diri Javnan setelah gemma dinginnya menusuk telinga Javnan.

"Hidup Edrea hancur karena kamu,"

Senyum Javnan perlahan luntur, detak jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Dikta seperti sedang membuka jahitan luka yang masih basah di dalam sana. Ah, ini lagi..ini lagi.

"Kamu taukan, cita-citanya itu menjadi dokter spesialis jantung. Dia belajar gila-gilaan waktu SMA buat masuk fakultas kedokteran terbaik...

Tapi kamu datang dan rusak semua mimpinya, bukan hanya mimpinya, hidupnya juga kamu hancurkan," Dikta meletakan laptopnya di atas meja, beralih ke berkas-berkas yang bertumpukan.

Javnan hanya menunduk diam sambil meremas jemarinya kuat-kuat, sampai tak sadar kuku jarinya melukai kulit-kulit tangannya sendiri.

Perasaan bersalah itu muncul lagi, membuatnya makin membenci diri sendiri karena penderitaan sang Bunda berawal dari kehadirannya didunia. Menyadari bahwa ialah penyumbang derita terbesar ke kehidupan Bunda.

The Way I Live ✔ Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu