8

141 62 102
                                    


"Gimana?"

Lisa bertanya kepada Bianca yang baru saja selesai menelpon. Ia menatap raut Bianca yang terlihat pucat dan terlihat semakin panik, gadis itu ketakutan, tangannya gemetar dan dingin. 

Ia langsung meraih lengan temannya itu tanpa menunggu jawabannya, sangat dingin. Ia memeluknya saat Bianca kembali menangis dan mulai menangis cukup keras dalam dekapannya. "Bi, tenang dulu ...." Lisa mulai ikut panik.

Thea masih terdiam, belum ada niatan untuk bersuara. Pandangannya fokus memperhatikan foto yang menjadi alasan Bianca menangis. Foto tersebut merupakan foto pacar Bianca yang belum lama jadian. Dapat dihitung dengan jari, berapa lama mereka pacaran.

Tiga hari, seingat Thea. Bianca pernah mengatakannya belum lama ini.

Tapi bukan itu yang menjadi masalahnya saat ini, tapi tentang foto tersebut.

Foto itu merupakan foto pacarnya, sudah tidak bernyawa. Tergambar jelas dalam foto itu terdapat potongan tubuh pacarnya, tidak semua. Hanya kepalanya saja yang putus dari asalnya, memang sangat mengerikan. Siapapun yang melihat ini mungkin akan merasakan hal yang sama seperti Bianca saat ini, terkejut dan pastinya sangat menyeramkan untuk mereka yang takut dengan darah.

Lisa masih menenangkan Bianca yang menangis. Sedang Anna, perempuan itu mengambil alih ponsel milik Bianca saat melihat benda pipih yang dibaluti case polos berwarna biru itu kembali menyala. Sebuah panggilan masuk tanpa nama.

"Siapa yang kirim ya?" Thea bertanya-tanya. Ia beranjak dan memungut buket bunga yang sempat dilempar oleh Bianca. Mencoba untuk mencari tahu lebih dalam, siapa tahu ada sedikit jejak yang tertinggal disana.

Bunga yang terlihat sangat cantik dan wangi. Thea tidak menemukan apapun lagi selain foto tadi dari dalam bunga tersebut. Ia menatap Bianca yang sedang dituntun untuk duduk.

Temannya ini nangis karena takut melihat jasad pacarnya atau sedih karena ditinggal mati?

Tiba-tiba saja Thea berpikir seperti itu. Bianca terlihat begitu ketakutan. Sepertinya perempuan itu takut karena melihat jasad sang pacar, bukan karena sedih ditinggal mati. Karena jelas, temannya itu pasti pacaran hanya untuk kesenangan dirinya saja, bukan karena perasaan yang sesungguhnya.

Tidak ada yang tahu.

"Ada apa An? Siapa yang telfon?" Thea bertanya kepada Anna yang baru saja selesai menelfon. Menatap temannya yang sedang berjalan menuju kearahnya.

Anna menoleh sejenak pada Bianca yang kini sedang terdiam, tangan perempuan itu masih bergetar sebab ketakutan. Dia memang sangat takut dengan hal berbau darah. Apalagi melihat mayat itu yang ternyata merupakan seseorang yang dikenalnya.

Pasti akan terus terngiang-ngiang dan akan sangat sulit untuk hilang dalam benaknya.

"Ada yang telfon tanpa nama," sahut Anna menjawab pertanyaan Thea seraya memberikan ponsel milik Bianca kepada Thea, "Gue rasa, ini ada hubungannya dengan pengiriman bunga itu."

Lisa menatap Anna, begitupun dengan Thea. Mereka terdiam. Sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Thea menatap lama nomor tidak dikenal itu, tidak lama ia beralih menatap Bianca yang terduduk di belakangnya.

"Bi, lo nangis karena takut lihat potongan tubuh orang itu atau sedih karena ditinggal dia mati?"

Bianca berhenti menangis, bola matanya yang memerah itu berputar cepat ke arah Thea yang kini sedang menatapnya penuh selidik. Sembari menarik ingusnya, ia menyahuti. "Walau gue nggak cinta sama dia, tapi gue tetap sedih karena pernah ditraktir makan dan jalan bareng sama dia huwa!!"

Ketiga temannya terdiam, mereka saling melirik dan menatap Bianca. Thea menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, benar dugaannya jika perempuan itu menangis bukan karena dia cinta dengan pacarnya.

BIANCA ( Hate Love )Where stories live. Discover now