15

497 69 3
                                    

*turn the audio on for the better*

***

Hari itu adalah yang terakhir kalinya.

Tidak ada lagi Jungkook, tidak ada lagi kunjungan di depan pintu. Singgahnya telah selesai. Air mata yang Yoongi lihat dan kata-kata 'jika aku hilang' nya adalah salam perpisahan.

Ciuman terakhir itu merupakan segel di atas amplop berisi hari-harinya bersama Yoongi. Yang ia lipat rapat tanpa alamat. Yang dengannya Jungkook sempurna pergi.

Lucunya Yoongi tak diberi kesempatan untuk bereaksi, membuatnya jadi merasa seperti-ini yang lebih lucu-ditinggalkan.

Dan perasaan itu hanya Yoongi tertawakan. Karena satu-satunya yang bisa Yoongi lakukan hanya mengedikkan bahu dan berkata, mau bagaimana lagi?

Tidak ada remidi, tidak ada tombol pengulangan. Jungkook tuntas lenyap dan toh itu tidak mengubah apapun dari kehidupan Yoongi. Semua hanya akan kembali pada keadaan sebelum ada Jungkook.

Juga tidak ada kewajiban bagi si pria besar untuk mengucap pisah dengan betul. Karena mereka adalah orang asing, sedari awal hingga akhir.

Bumi pun masih tetap pada rotasinya, pagi Yoongi masih sibuk, jadwalnya mengajar tetap penuh, rak bukunya pun semakin sesak dan Yoongi masih sarapan roti cokelat dengan susu panas. Tidak ada yang berbeda, sama sekali.

Setidaknya itu yang Yoongi yakini, atau lebih tepatnya ingin ia yakini.

Karena di saat ia duduk di tengah rumahnya, ia mulai bertanya-tanya apakah rumahnya memang selalu sebesar dan sekosong ini dan kenapa pula sofanya sekarang terasa begitu luas? Dan setiap suara denting di dapurnya jadi terdengar amat nyaring sehingga bisa memekakkan telinganya.

Oh, hari ini pun Yoongi melamuni jendela lagi. Hampir lupa kalau dia sedang mengajar di kelas. Alis Yoongi mengerut, akhir-akhir ini dia terus tidak menjadi dirinya.

Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, ada yang mulai merayap ke atas sadarnya.

Yaitu sebuah pemahaman kalau tentu saja ada berubah, hanya saja Yoongi tidak mau menyadarinya, tidak mau mengakui.

Bahwasanya di kedalaman jantungnya ada perasaan familiar yang mulai bangun dari lelap dan mencoba ikut bernapas bersamanya. Yang kakinya menaiki tiap-tiap denyut nadi dan mengalir bersama darahnya, berusaha membisiki sesuatu lewat lubang pori-porinya.

Dan entah kenapa selalu ada yang menyentil ketika hujan turun. Yang dari bunyi pertama rintiknya akan langsung menyita Yoongi dari fokus bukunya. Ramai tetesnya menggiring Yoongi pada sebuah alam konstan dengan Jungkook di dalamnya.

Ada yang terus menggelitik minta ditemukan, tapi Yoongi akan menyangkalnya dengan seluruh yang ia miliki. Karena apapun yang bersamanya akan serta-merta membawa segala yang bisa menyakitinya ke permukaan lagi.

Dan adalah sebuah rasa, yang terbangun dan yang telah sampai itu, teman lamanya yang akrab, yang nomornya selalu ia simpan tetapi tak pernah ia hubungi. Yang sangat sengaja Yoongi sembunyikan di balik tirai-tirai hatinya.

Yoongi selalu tahu, di balik apatisnya, ada benang kusut yang tersimpan jauh di dalam dirinya. Yang semakin lama kian menggunung, memenuhi ruang hatinya, menjadi biang sesak. Tapi dia tak mau menarik benang itu, karena akan membawanya pada sebuah kesimpulan absolut.

Dia tidak ingin mengurainya, karena Yoongi adalah pengecut, sebab apa yang akan ia temukan di ujung benang itu akan pula menghadiahkannya rasa sakit dan pedih. Yang ia pernah tahu dan tak mau ia tahu lagi.

Tapi apa Yoongi benar-benar punya pilihan untuk terus kabur?

Sudah setengah tahun berlalu dan sebulan lagi datang, dan sebulan lainnya. Waktu terus bertambah tak pernah menjeda dan semakin menjauh dari hari itu.

Wajah Jungkook kian mengabur, Yoongi mulai melupakan detail hidungnya yang tinggi, lekuk bibirnya yang kemerahan dan rasa ketika bibir mereka saling menyentuh.

Di sisi lain ada yang semakin menampak jelas. Adalah kenyataan kalau Yoongi tidak menyukai proses melupakan ini. Dia ingin terus mengingat si pria besar.

Dan apa yang selama ini meniti dari ulu hatinya mulai mengambil wujud, jadi absolut. Dengan nakal ia bergelayut di sana, tak mau lepas. Yang meskipun Yoongi mulai bernapas dalam-dalam kemudian menghembuskannya keras, dia tak jua hilang.

Ketika pada akhirnya Yoongi dengan lantang bertanya pada dirinya sendiri soal apa dan kenapa, saat itulah dia tahu kalau ia selalu mengetahui jawabannya selama ini. Hanya saja ia memutuskan menutup mata dengan waktu yang terlampau lama.

Pada rasa takut yang selalu Yoongi tabung di tiap-tiap kedatangan Jungkook. Takut kalau diam-diam ia mulai menyimpan makna kepada sosoknya, takut kalau pelan-pelan ia telah terjerat dengan hipnosis tawa Jungkook. Takut tahu-tahu sudah terpenjara pada sebuah rasa.

Takut, jika di suatu sudut taman hatinya Yoongi telah menumbuhkan benih bunga yang berbeda dan memekarkannya.

Dan tentang benak tengah malamnya yang seperti kaset rusak, terus memutar adegan lama bersama Jungkook. Yang bersamaan itu tanpa sadar kadang senyum akan tersudut di ujung bibirnya, lain waktu adalah dengusan lucu.

Dan soal lamunan tengah harinya yang selalu mengajak Yoongi untuk menyusuri tumpukan tanda tanya terkait si pria besar yang terus ia timbun.

Soal goresan luka di tubuhnya, dering panggilan dari penelpon asing, tujuang kedatangannya, nama depannya...

Ah ya. Nama depannya, Jungkook bahkan tidak meninggalkan nama depannya untuk Yoongi ingat. Sebegitu nihilnya kan pengetahuan Yoongi akan Jungkook?

Dirinya terduduk, tangan menutup wajahnya dan beranjak menyisipi helai-helai rambut. Mulutnya membuat senyum miris dan dengus kalah. Matanya terpejam lama.

Diam-diam Yoongi menanti momen ini, diam-diam ia mengantisipasi semua ini menyentaknya. Membuatnya menyerah dan memaksanya kalah telak. Tak berkutik.

Ia tahu benar kalau setiap hari mulai dari saat itu, Yoongi selalu mengundang pengharapan dan menunggu.

Bocah sialan itu memang hanya memberikan satu pilihan untuk Yoongi rasakan: perasaan ditinggalkan. Alasan kenapa rasa ini begitu akrab. Karena Yoongi pernah mengalaminya. Perasaan kosong dan mencelos sebab ditinggal pergi.

Perasaan ketika ia begitu mencinta kemudian ditelantarkan. Perasaan yang sangat Yoongi benci karena membuatnya lemah. Maka dari itu ia terus membalikkan punggung di hadapan hatinya. Tuli dari setiap ajakannya. Tapi apa dia benar-benar punya pilihan untuk terus lari?

Tidak.

Yoongi sudah lelah terus mengabaikan ajakan hatinya, sudah terlalu lama ia terus menggelengkan kepala padanya. Sekarang ia memutuskan untuk menerima apa yang seharusnya ia terima.

Dia akan mendekap mawar sekaligus duri-durinya. Karena dari setiap kepedihan itu, selalu tersimpan keindahan dan kedalaman makna.

Yoongi akan mengakuinya dengan lapang dada, kalau ya, Yoongi merindukan Jungkook setiap saat, di setiap detik yang tercipta. Begitu merindukannya sampai rasanya sakit sekali.

Kalau saja Yoongi bisa pergi dan memanggil namanya, kalau saja ia mau membuka mata pada apa yang selama ini dia rasakan. Mungkin akan terasa seperti membuka kotak hadiah di hari ulang tahun.

Sakit sekali. Kepergian Jungkook sungguh memberi nyeri. Jungkook bahkan tidak ada di sini-bukan, justru karena pria itu tidak ada di sini makanya Yoongi tersadar.

Dadanya berdenyar dengan cara yang menyakitkan tapi melapangkan. Kini kakinya berlari lagi. Bukan pada penghindaran melainkan pada cinta.

Hari itu, pertama kalinya sejak lama sekali, Yoongi membiarkan hujan mengguyurnya. Sebuah bentuk selebrasi dari kebebasannya. Setiap butir air seolah membasuhnya bersih. Sekarang ia lepas.

Hingga saat ini pun Yoongi masih sangat merindukan Jungkook, tapi lebih dari itu Yoongi menginginkannya.

RUNNING OUT  ∕  kookgaWhere stories live. Discover now