22 • Key

876 271 434
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Ini hari kelima, dan belum ada progress yang memuaskan, Miki hanya bisa bermain dengan lancar hanya pada menit pertama, setelah itu semuanya buyar.

Gadis itu kembali terdiam, bahkan ia pernah mengamuk dan kembali bermain brutal, sampai aku harus menahannya dengan mendekapnya erat sampai ia kembali tenang.

Kurasa selain yang ia katakan waktu itu, masih ada hal lain tentang alasan mengapa ia bermain piano secara brutal, namun ia tak mau mengatakannya kala aku bertanya.

Jangankan tentang itu, hal-hal mengenai dirinya sendiri pun tak mau ia beritahukan. Sebenarnya kenapa sih dia masih sok misterius seperti ini? Apa baginya kami ini belum masuk kategori dekat untuk ia mau membuka dirinya padaku?

Dan masih dengan lagu yang sama, aku tetap setia menantikannya bermain hingga lancar. Namun sejak tadi ia hanya terdiam sembari menatap tuts hitam-putih.

"Miki?"

Ia menghembuskan nafas berat, "I'm sorry. Sepertinya ini tidak berjalan dengan baik. Maafkan aku telah membuang waktumu. Mulai besok kau tak perlu repot-repot mengajariku lagi."

Aku terdiam, tak menyangka ia akan mengatakan hal seperti ini. "Hei, jangan bilang begitu. Aku tak masalah, tidak keberatan sama sekali."

"But this wouldn't work."

"It'll be. Tenanglah, ini baru hari kelima. Ini baru satu per tujuh puluh tiga bagian dari tiga ratus enam puluh lima hari yang ada."

Ia tertawa, "Apa-apaan kau ini. Dasar anak IPA, bahasamu rumit sekali. Aku sampai harus berpikir dulu apa maksudmu, bagaimana bisa ini sepertujuhpuluhtiga."

Aku ikut menyunggingkan senyum, "Akhirnya kau tersenyum." Aku mengusak rambut halusnya.

Hei, lihatlah semburat merah muda menggemaskan yang tampak di wajah putihnya.



Setelah makan malam seperti biasanya aku hendak kembali ke kamar, namun panggilan dari ahjusshi yang menjadi asistenku itu menghentikan langkahku, membuat aku memutar langkah menuju ruang kerja Appa.

Kuketuk pintu dihadapanku, masuk setelah Appa mempersilahkanku. "Malam Appa," kusapa Appaku sembari membungkukan tubuhku hormat.

"Hei, Yoongi anak kesayangan Appa, sini kemarilah, ada yang ingin Appa bicarakan." Aku menurut dan menghampirinya menuju sofa yang ada.

"Kau masih suka bermain piano di sekolah?" Bingung, namun aku tetap mengiyakannya.

Appa terlihat sedang banyak pikiran, kini bahkan ia melepaskan kacamata baca yang bertengger di hidungnya dan memijat pelan pangkal hidung serta pelipisnya.

Menghela nafas sejenak sebelum akhirnya Appa kembali memandangku, "Kau masih memegang kuncinya kan, Yoon?"

Lagi-lagi kendatipun aku bingung, aku tetap mengangguk mengiyakan. Jujur sampai saat ini aku belum tahu ke arah mana sebenarnya pembicaraan Appa pada malam hari ini.

"Yoon, Appa akan membujuk Eomma-mu agar ia mau membebaskanmu memegang kunci kamar Keira, tapi kau juga harus ingat waktu dan mengaturnya sendiri sehingga Eomma-mu itu tidak akan marah-marah."

Mendengarnya, tentu aku merasa senang. Semoga saja Appa berhasil membujuk Eomma sehingga aku dapat dengan leluasa bercinta dengan Keira kedepannya.

Namun perkataan Appa selanjutnya membuat kerutan didahiku semakin terlihat dalam,

"Nah, maka dari itu, kembalikan kunci ruang musik sekolahmu ya? Sini, berikan pada Appa."

"Eh? Tapi kenapa Appa?"

"Kan di rumah kau sudah akan bersama dengan Keira lagi, jadi tidak perlu bersama dengan Cierra lagi saat di sekolah. Katamu piano itu kekasihmu kan? Masa kau mau punya dua kekasih?"

Appa membubuhi kekehan pada akhir kalimatnya, mendukung bahwa yang tengah ia katakan saat ini adalah sejenis gurauan, namun aku tahu pasti bahwa Appa sedang serius jika dilihat dari sorot matanya.

"Ya? Besok Appa usahakan kuncinya ada, kau juga segera kembalikan kunci ruang musik pada Appa ya." Appa mengelus bahu kiriku, yang secara tidak langsung menegaskan bahwa aku harus menuruti perkatannya.

"Uhm, tapi Appa, bolehkah aku meminta perpanjangan waktu? Seminggu saja." pintaku berharap Appa mau mengabulkannya.

"Untuk apa?"

"Bagaimanapun aku kan berkenalan secara baik-baik dengan Cierra, masa berpisah tidak secara baik-baik juga? Tolong izinkan aku membuat acara perpisahan dengan Cierra, seminggu saja, hum?" Kukeluarkan jurus puppy eyes-ku yang sudah lama tak kukeluarkan setelah beranjak remaja. Semoga masih mempan pada Appa.

"Tiga hari."

"Ah, Appa. Seminggu saja kok."

"Perpisahan tidak perlu lama-lama Min Yoongi."

"Tapi Appa—" Perkataanku terinterupsi dering telepon Appa.

"Appa ada kerjaan, kau kembalilah ke kamarmu. Jangan lupa berikan kuncinya pada Appa dalam lima hari lagi." Appa memberikan wink-nya padaku, aih Appa memang terbaik!

Dalam kamarku aku memikirkan mengapa tiba-tiba Appa meminta kunci ruang musik sekolah kembali, seperti aku tak diperbolehkan untuk ke sana lagi.

Lalu bagaimana nasib les piano Miki? Akankah selesai dalam lima hari ini? Mengingat progress-nya yang teramat lambat, aku jadi sangsi.

Aku memutuskan untuk memejamkan mataku untuk mengarungi lautan mimpi, sampai pertanyaan terakhir Appa sebelum aku menutup pintu ruang kerjanya kembali terngiang.

"Oh ya, Yoon, apa kau sering bertemu dengan perempuan di ruang musik sekolahmu itu?"

Darimana Appa tahu? Apa ini alasannya ia ingin mengambil kunci ruang musik milikku?

Ah.. memangnya Appa tidak mau anaknya ini punya pacar nyata dan tetap berpacaran dengan piano? Ugh, apa sebenarnya yang tengah kupikirkan? []

Hayo ada apa yaa~
Yang bisa nebak?

Btw kalo besok2 ada yang notifnya penuh sama comment dan vote dari aku, tolong maklum ya, itu aku bacanya pas offline, makanya baru ke submit pas aku dapet hotspot :'( belom bisa beli kuota, namanya juga di rumah aja, gaada pemasukan :")

Next? 50 votes ya!

Ayo kalian pasti bisa, sider muncul dong, aku tahu kalian suka sama cerita ini, soalnya kalo gasuka pasti gamau lanjut baca kan? Tapi ini dilanjut terus :") So,
pasti kalian suka kan? Hehe

Sooo don't forget to vote!
⭐👇⭐

Me, Piano and Her ✔️Where stories live. Discover now