Bagian 30

469 32 18
                                    

Awas typo, hehe.

Happy Reading🌹

🐳🐳🐳

Kita berhak percaya pada siapa saja, baik dengan sahabat ataupun musuh sekalipun. Namun, kita harus benar-benar memilih dan memilah agar tidak salah menyimpulkan sesuatu.
Satu kesalahan akan mengantarkan kita pada penyesalan yang tiada ujung. Terlebih jika orang itu telah pergi begitu jauh dari kita.

REGRET*


🌹🌹🌹

Dokter Rio kembali memasuki ruang ICU. Di atas brankar sana, seorang remaja putri tengah berjuang di ambang kematian. Penyakit leukimia yang selama ini dideritanya sudah begitu parah. Dokter laki-laki itu menduga kalau pasiennya tidak pernah teratur atau bahkan tidak sama sekali meminum obatnya.

"Maafkan saya Icha, tapi saya harus memberitahu keadaanmu pada keluarga kamu yang sudah menunggumu dengan khawatir di luar sana. Saya harus segera mengambil tindakan."

Icha menatap sendu dokternya itu. Untuk berbicara saja rasanya dia sudah tidak mampu. Segitu lemahnya kah tubuhnya ini?

"Jangan berkedip kalau tidak setuju," usul dokter itu.

Icha mengedip sekali. Dia ingin sembuh dan berkumpul dengan keluarganya meskipun semua ini terlambat. Namun tentu saja jika Allah mengizinkan.

Rio mengangguk dan mengulas senyum hangatnya. "Anak pintar. Saya tau kamu kuat. Bertahan ya, Cha, bundamu mengharapkan kesembuhanmu."

Icha meneteskan air matanya ketika dokter itu kembali meninggalkan dirinya. Namun baru beberapa menit setelahnya, tubuhnya mengejang. Perawat yang menjaga di sana langsung memberi sinyal darurat.

Banyak dokter yang memasuki ruangan Icha untuk mengetahui kondisinya. Mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan kemoterapi secepatnya. Meski sedikit ragu, tapi mereka berusaha mewujudkan mimpi kecil Icha yang masih ingin bersama keluarganya.

***

"Icha adalah pasien saya sejak lama. Saya masih ingat waktu pertama kali dia mendatangi saya. Waktu itu kami bertemu di rumah sakit luar negeri karena dia tinggal di sana. Icha menceritakan keluhannya yang sering merasa sesak napas dan hidungnya mimisan secara tiba-tiba tanpa sebab. Saya sedikit curiga dan meminta untuk mengecek tubuhnya. Benar saja, ada banyak memar yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Saya memutuskan untuk mengecek darahnya dan meminta dia kembali satu minggu setelahnya. Saya heran, kenapa tidak ada yang menemaninya datang ke rumah sakit. Saya menanyakan itu dan cukup terkejut untuk saya setelah mendengar jawabannya, dia tidak ingin siapa pun tahu kalau dirinya sakit. Dia tidak ingin membuat mereka pikiran karena dia tahu kalau pikiran bisa membuat orang menjadi kacau dan tidak fokus.

"Bayangkan saja, seorang anak berusia sembilan tahun sudah berpikir matang seperti itu. Saya sedih saat tahu hasilnya kalau dia mengidap leukimia dan sudah memasuki stadium dua. Waktu itu dia sempat drop dan saya bertanya bagaimana kalau keluarganya mencari dia karena tidak berada di rumah. Dia hanya menjawab, aku sudah izin kalau ada acara bersama temanku dan membuatku tidak bisa pulang cepat. Anak itu benar-benar membuatku terharu. Dia bertahan sampai berumur lima belas tahun dan rutin melakukan pengobatan.

REGRET || TAMAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang